Ketiga, Orang-orang kafir juga terkena taklif atas pokok-pokok syariat dan cabang-cabang syariat, sehingga mereka ditanya, dimintai pertanggungjawaban dan dihisab tentang cabang-cabang syariat, serta dibalas atas pelanggaran mereka terhadap cabang-cabang syariat itu.
Allah SWT berfirman, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” mereka menjawab: “Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin, dan adalah Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah Kami mendustakan hari pembalasan,” (QS. Al-Mudatsir : 42-46)
BACA JUGA: Mengkafirkan Orang Lain, Bagaimana Hukumnya?
Dengan demikian jelaslah bahwa orang-orang kafir dan musyrik ditanya tentang keimanan, kebangkitan, shalat, dan zakat. Mereka dimintai pertanggungjawaban dan mendapat balasan dalam hal-hal itu.
Keempat, Orang-orang kafir itu berbeda tingkat kekafirannya begitu juga dengan dosa dan maksiatnya. Mereka dimasukan kedalam neraka sesuai kadar dosa-soasanya. Neraka bertingkat-tingkat, sebagaimana surga pun bertingkat-tingkat. Makin berat kakafiran dan kesesatan seseorang, makin berat pula siksaannya. Sebagian orang kafir berada di tingkat yang paling bawah di neraka, dan diantaranya adalah orang munafik. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka,” (QS.An-Nisa:145)
Ibn Taimiyah mengatakan, “Hukuman orang yang banyak keburukannya lebih berat dari pada hukuman yang sedikit keburukannya. Siapa yang memiliki kebaikan maka kebaikan itu meringankan azabnya, sebagaimana siksaan abu thalib lebih ringan siksaannya dari pada abu lahab. Jadi hisab pada orang kafir untuk menetukan tingkatan azab, bukan memasukan mereka ke surga.
Al-Qurtubi menjelaskan dua pandangan tentang penimbangan amal perbuatan orang kafir:
Pertama, Kekafiran dan kejahatannya diletakkan disalah satu daun timbangan dan tidak ada kebaikan yang diletakkan di daun timbangan yang lain, sehingga daun timbangan keburukan lebih berat karena daun timbangan kebaikan kosong.
Kedua, Kebaikan orang kafir, seperti silaturahim, sedekah dan bantuannya kepada orang lain, diletakkan di daun timbangan kebaikan, tetapi keburukannya lebih berat karena kekufuran dan kemusyrikannya.
Pandangan pertamalah yang benar karena kemusyrikan menghapus amal kebaikan.
Apabila engkau mempersekutukan Allah, niscaya terhapuslah amal kebaikan mu.
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
DALAM hadis disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali yang ikhlas dan dilakukan hanya karena-Nya,” (HR. An-Nasai)
Dalam hadis Shahih juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW mengabarkan bahwa orang kafir diberi rezeki di dunia ini karena kebaikannya. Dalam shahih Muslim dan Musnad Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melalimi kebaikan seorang mukmin. Karena kebaikannya itu, ia diberi nikmat di dunia (dalam suatu riwayat: atas kebaikannya itu ia diberi rezeki di dunia) dan mendapat balasannya di akhirat. Adapun orang kafir, karena kebaikan yang telah dilakukannya, ia diberi nikmat oleh Allah di dunia, hingga setelah sampai di akhirat, ia tidak lagi memiliki kebaikan yang perlu dibalas.
Nas-nas sebelumnya menunjukan bahwa orang kafir akan ditanya, namun bagaimana dengan nas-nas yang seolah-olah menunjukan sebalikny, seperti firman Allah SWT
Dan tidak ditanya lagi kepada orang-orang berdosa tentang dosa-dosa mereka.
Pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya.
Inilah hari mereka tidak bicara, dan mereka tidak dizinkan untuk berdalih
Tidak ada pertentangan antara nas-nas ini dengan nas-nas sebelumnya. Para ulama telah menyelaraskan nas-nas tersebut dengan berbagai jawaban:
BACA JUGA: Apakah Azab Kubur hanya untuk Orang Kafir?
Pertama, Orang kafir tidak ditanya dengan baik-baik dan ramah, tetapi ditanya dengan pertanyaan celaan dan kecaman: mengapa kamu melakukan ini dan itu?! Begitulah pertanyaan kepada mereka. Allah tidak bertanya kepada mereka dengan pertanyaan yang mereka sukai. Tetapi Allah menghina dan mencela mereka.
Kedua, Mereka tidak ditanya dengan pertanyaan bersifat meminta keterangan, tetapi dengan pertanyaan yang bersifat menjatuhkan, sehingga kepada mereka dikatakan, “Mengapa kau lakukan ini?!” Al-Hasan dan Qatadah mengatakan, “Mereka tidak ditanya tentang dosa-dosa mereka, karena Allah telah merekamnya dan para malaikat telah mencatatnya.”
Ketiga, Mereka ditanya di tempat tertentu. Al-Qurtubi mengatakan di hari kiamat ada banyak tempat. Di suatu tempat ada pertanyaan dan pembicaraan, dan di tempat yang lainnya tidak.”
As-Safarini mengatakan:
Mereka ditanya di suatu tempat tertentu. Demikian diriwayatkan oleh Ikrimah dari Ibn ‘Abbas r.a. Manusia pada hari kiamat mengalami berbagai keadaan, dan ayat-ayat itu menggambarkan keadaan yang banyak itu (dalam hal ini, keadaan ditanya dan keadaan tidak ditanya). Oleh sebab itu, Imam Ahmad dalam jawabannya mengatakan, “Pertama kali dibangkitkan, para makhluk tidak bisa bicara selama enam puluh tahun dan mereka tidak diizinkan berdalih dalam mengemukakan alasan, kemudian mereka diizinkan berbicara, sehingga mereka berbicara. Itulah maksud firman Allah SWT, Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia, kami akan beramal shaleh.
Ketika mereka diizinkan berbicara, mereka berbicara dan bertengkar. Firman Allah SWT, Kemudian kalian pada hari kiamat akan bertengkar dihadapan Tuhan kalian.” Pada waktu hisab dan pembalasan perbuatan lalim, kepada mereka dikatakan, “Janaganlah kalian bertengkar dihadapan-Ku. Aku telah sampaikan kepada kalian ancaman ini. Di dunia bahwa azab itu ada.”
Keempat, Al-Qurtubi mengatakan, makna firman Allah SWT, Dan tidak ditanya lagi kepada pendosa tentang dosa-dosa mereka,” adalah bahwa pada hari kiamat, para malaikat tidak perlu bertanya kepada seseorang “Apa agamamu?” “Apa yang kau perbuat di dunia?” untuk mengetahui orang itu mukmin atau kafir, tetapi cukup melihat penampilan mereka, karena orang mukmin berwajah cerah sedangkan orang kafir berwajah kelam. []
Sumber: Ensiklopedia Kiamat | Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar | Penerbit: Serambi
HABIS