SAHABAT Islampos, baru-baru ini nama Yessy dan Ryan Dono viral di media sosial sebagai pasangan yang gagal nikah karena mahar. Diketahui bahwa, mahar yang dipermasalahkan yakni berupa sertifikat rumah. Besarnya mahar ini nampaknya menjadi beban yang mengakibatkan rencana pernikahan mereka gagal.
Lantas, bagaimana ketentuan mahar dalam syariat Islam?
Mahar atau mas kawin adalah bentuk persyaratan yang wajib diberikan oleh mempelai pria kepada sang mempelai wanita. Mahar pernikahan termasuk salah satu syarat yang menjadikan suatu pernikahan sah di mata agama.
BACA JUGA: Jenis dan 3 Syarat Mahar untuk Istri
Mahar atau dalam Bahasa Arab disebut al shidaq memiliki arti jujur, benar, dan tulus. Dalil yang membahas tentang mahar pernikahan ini sudah diatur secara jelas dalam firman Allah.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nissa: 4)
Selain dalam Alquran, ada juga sejumlah hadis yang membahas mengenai mahar pernikahan, salah satunya seperti hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasulullah bersabda:
“Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR Bukhari No.1587)
Dalil di atas juga sekaligus menerangkan tentang fungsi mahar dalam Islam, yakni sebagai bentuk tanggung jawab dari pihak laki-laki kepada calon istri yang akan dinikahi. Hal ini juga menjadi sebuah perlindungan, penghormatan, dan penghargaan yang tinggi terhadap kaum wanita. Keseriusan calon mempelai laki-laki juga akan dinilai melalui mahar yang ia berikan. Jadi, mahar pernikahan harus diberikan dengan niatan yang tulus dan ikhlas demi memuliakan calon istri.
Adapun besar mahar dalam Islam tidak memiliki batasan. Namun, ada dua pandangan yang berbeda dari sejumlah pakar hukum Islam tentang besarnya mahar.
Pertama, menurut sejumlah ulama, termasuk imam Syafii, berpendapat bahwa jumlah minimal mahar pernikahan tidaklah dibatasi. Apa pun bentuk mahar yang diberikan sah-sah saja sepanjang itu bermanfaat dan bisa diperjual-belikan.
Kedua, menurut pandangan madzhab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, mahar pernikahan perlu ditentukan batas minimalnya, yaitu senilai 10 dirham atau yang setara dengannya menurut Abu Hanifah, dan seperempat dinar menurut Imam Malik.
Besaran nilai mahar memang tidak ditetapkan oleh syariat. Jadi, mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling ridha antara kedua belah pihak, yakni mempelai pria dan mempelai wanita.
Ada sebuah kisah tentang seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak memiliki harta. Nabi ﷺ tetap memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi.
Rasulullah ﷺ bersabda kepada sahabat tersebut:
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ
“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
An-Nawawi menjelaskan:
في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان، لأن خاتم الحديد في نهاية من القلة، وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف
“Hadits ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf.” (Syarh Shahih Muslim 9/190)
Kendati demikian, hendaknya mahar itu adalah mahar yang mudah akan membuat pernikahan berkah. Berkah itu adalah bahagia dunia-akhirat baik kaya maupun miskin. Tidak sedikit orang kaya tetapi rumah tangga tidak bahagia dan tidak berkah.
BACA JUGA: Berdasarkan Quran dan Hadis, Inilah Alasan Disyariatkannya Mahar dalam Islam
Rasulullah ﷺ bersabda:
ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ
“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat Ahmad juga disebutkan:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜَـﺎﺡِ ﺑَﺮَﻛَﺔً ﺃَﻳَْﺴَﺮُﻩُ ﻣُﺆْﻧَﺔً
“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”
Amirul Mukminin, ‘Umar radhiallahu anhu pun pernah berkata, “Janganlah kalian meninggikan mahar wanita. Jika mahar termasuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, tentulah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam paling pertama melaksanakannya.” (HR. At-Tirmidzi, shahih Ibni Majah)
Sebaliknya apabila mahar terlalu mahal dan membebankan bagi calon suami (apalagi sampai berhutang untuk menikah karena tabungan tidak cukup), tentu akan mengurangi keberkahan pernikahan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan:
المغالاة في المهر مكروهة في النكاح وأنها من قلة بركته وعسره.
“Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini menunjukkan sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 5/187)
Demikian penjelasan terkait mahar dalam syariat Islam. []
SUMBER: MUSLIM | IBUPEDIA | BRIDESTORY