Oleh: KH. Rahmat Najieb
ALLAH ‘Azza wa Jalla menetapkan ketentuan shiyam Ramadlan kepada lima golongan:
1. Setiap mumin yang sehat, mampu melaksanakannya, dan hadir di tempat tinggalnya (tidak sedang safar) baginya wajib shiyam. Meninggalkannya walaupun sehari adalah dosa besar dan tidak dapat diganti walaupun melakukan shiyam seumur hidup.
2. Bagi yang sakit diizinkan untuk ifthar, setelah sembuh ia wajib untuk mengqadlanya di luar Ramadlan.
3. Bagi musafir diizinkan untuk ifthar, setelah kembali dan berada di tempat tinggalnya, ia harus mengqadla shaum yang ditinggalkannya pada bulan yang lain. Firman Allah
ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Siapa yang sakit di antaramu, atau dalam keadaan safar, kemudian berbuka, maka hitunglah harinya, dan shaumlah pada hari-hari lain selain Ramadlan…”
BACA JUGA: Adakah Hari-Hari Khusus untuk Puasa di Bulan Sya’ban?
Sakit apa dan safar bagaimana yang membolehkan ifthar? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat;
- setiap sakit dan setiap safar yang diharuskan padanya qashar shalat, boleh ifthar. Melihat keumuman lafazh, karena di sana tidak dicantumkan syarat sakit dan safar.
- sakit yang mengakibatkan penyakitnya bertambah parah bila melaksanakan shaum. Selain itu tidak dibenarkan ifthar, malahan ada beberapa macam penyakit yang dapat disembuhkan dengan melaksanakan shaum. Dan safar yang dibolehkan ifthar ialah yang melelahkan sehingga memerlukan makan dan minum.
- Hukum ifthar bagi yang sakit dan musafir itu tergantung alasannya. Bagi orang yang sakit dan harus minum obat pada waktu siang hari, baginya ifthar itu suatu keharusan, demikian juga orang yang safar, bila ia tidak kuat meneruskan perjalanan karena lapar dan dahaga, maka lebih baik ifthar atau mungkin ifthar itu menjadi wajib. Sebab setiap orang wajib mempertahankan hidup, haram hukumnya berbuat sesuatu yang menyebabkan ia madlarat atau meninggal.
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam as-Syafi’I berpendapat bahwa shaum itu lebih utama bagi yang kuat dan tidak memadlaratkan. Sedangkan Imam Ahmad dan Imam al-Auza’iy menyatakan bahwa berbuka atau ifthar itu lebih utama, karena melaksanakan rukhshoh dari Allah.
Karena itu kita dapat mengukur kemampuan diri, masih kuatkah melaksanakan shaum tanpa madlarat? Kapan harus ifthar? Sebab pada ayat selanjutnya Allah berfirman,
ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Allah tidak menghendaki kesusahan.”
Selama sakit dan safar itu tidak payah dan tidak menimbulkan kesusahan, maka tidak boleh ia ifthar. Para shahabat pernah melakukan safar bersama Rasulullah Saw pada bulan Ramadlan. Di antara mereka ada yang shaum ada yang ifthar, satu sama lain tidak saling menyalahkan dan tidak saling merendahkan.
Imam Ahmad dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Said, “Kami melakukan perjalanan menuju Makkah pada bulan Ramadlan, kami semua shaum. Kemudian singgah di suatu tempat untuk istirahat, Sabda Rasulullah Saw, ‘Sesungguhnya kamu telah dekat kepada musuhmu, maka ifthar itu lebih baik bagimu.’ Shaum saat itu menjadi rukhsah (keringanan), sebab itu di antara kami ada yang shaum ada yang ifthar. Kemudian kami meneruskan perjalanan, lalu singgah lagi. Beliau bersabda, ‘Besok pagi kalian menghadapi musuh, maka ifthar lebih kuat bagimu.’ Kami semua ifthar, saat itu ifthar merupakan keharusan.”
Aisyah meriwayatkan bahwa Hamzah al-Aslamiy bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apakah aku harus shaum saat bersafar?”Aisyah menerangkan, ia adalah orang yang sering melakukan shaum. Jawab Rasulullah Saw, “Terserah kamu, mau shaum atau tidak!” Pada riwayat Imam Muslim beliau menjawab, “Ifthar adalah rukhshah dari Allah, siapa yang mau mengambilnya, itu baik. Siapa yang mau shaum maka tidak berdosa.”
4. Bagi yang muthiq diizinkan untuk ifthar dan menggantinya dengan fidyah. Firman Allah
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ
“Dan bagi orang-orang yang mampu melakukan shaum tetapi payah, mereka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…”
Yuthiyquwnahu artinya orang-orang yang mampu melakukan sesuatu tetapi dibarengi dengan payah dan kelelahan yang sangat. Selanjutnya disebut muthiq.
Fidyah artinya tebusan dengan membayarkan harta atau yang lainnya karena tidak melakukan kewajiban, atau kurang sempurna. Fidyah shiyam adalah memberi makanan kepada seorang miskin seukuran yang biasa dimakan oleh orang yang wajib mengeluarkannya.
Imam Mushthafa al-Maraghi menafsirkan: “Mereka adalah orang tua renta yang lemah, orang yang mempunyai penyakit kronis yang tidak ada harapan sembuh, para pekerja yang ditakdirkan Allah mengandalkan tenaga secara terus menerus dan tidak punya pilihan lain, seperti pekerja yang mencari batu bara, penambangan logam dan minyak bumi. Para Narapidana yang dihukum dengan bekerja keras, orang yang hamil dan menyusui yang menurut pemeriksaan bahwa mereka dianjurkan berbuka karena dikhawatirkan akan mengganggu keselamatan bayinya. Setiap kali mereka meninggalkan shiyam, mereka wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada seorang miskin dengan makanan yang biasa mereka berikan kepada keluarganya. Tetapi bila lebih dari ketentuan, maka hal itu akan lebih baik selama tidak berlebihan dan tidak menimbulkan kemadlaratan. Firman Allah,
فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرٗا فَهُوَ خَيۡرٞ لَّهُۥۚ
“Maka siapa yang menambah kebaikan, maka kebaikan itu lebih baik baginya…”
Dalil ini berlaku untuk semua ibadah maliyah (dengan harta) seperti zakat, infaq, dan shadaqah, tetapi tidak berlaku untuk ibadah badaniyah seperti menambah rakaat dalam shalat dan ifthar shaum melebihi waktu maghrib padahal ia mempunyai makanan dan kesempatan untuk berbuka. Bentuk tathawwu’ di sini maksudnya, memberi makan lebih dari seorang miskin setiap hari ia berbuka, atau mengistimewakan makanan yang diberikan. Demikian juga dalam mengeluarkan zakat dan infaq. Misalnya Zakatul Fitri seseorang melebihi dari kewajiban satu sha’ makanan.
BACA JUGA: Berpuasa tapi Tidak Berjilbab
Ayat ini pun memberi isyarat bahwa bershadaqah di bulan Ramadlan pahalanya akan berlipat ganda, terutama memberi kepada orang-orang yang shaumnya baik. Sebab ia akan mendapat pahala sama dengan orang yang diberinya.
Orang-orang yang sakit, para musafir, dan orang-orang yang muthiq jika mampu melakukan shaum, maka shaum itu lebih baik bagi kamu, sebab shaum mempunyai pengaruh positif terhadap seluruh aspek kehidupan manusia. Shaum dapat melatih jiwa, kedisiplinan waktu, sabar, rasa malu, menehan amarah, berhemat, meningkatkan kualitas ibadah, dan muraqabah, yaitu merasa diperhatikan oleh Allah, yang semua itu akan melahirkan ketaqwaan. Firman Allah,
وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٤
“Shaum kamu itu lebih baik buatmu jika kamu mengetahui.”
5. Bagi perempuan yang haidl haram baginya shaum, ia wajib mengqadlanya di luar Ramadlan saat ia memenuhi syarat untuk melaksanakannya. Sabda Rasulullah Saw saat menegur,
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ. (رواه البخارى)
“Bukanlah perempuan itu apabila haidl tidak wajib shalat dan tidak wajib shaum?”. (H.R. al-Bukhari)
Sahabat Mu’adzah berkata,
سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَقُلْتُ: مَا بَالُ الحْاَئِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلاَةَ ؟ قَالَتْ: كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوُمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. –رواه الجماعة-
Aku bertanya kepada’Aisyah r.a, “Apa sebabnya yang haidl itu mengqadla shaum tapi tidak mengqadla shalat? ‘Aisyah menjawab: kami pernah mengalami hal itu ketika beserta Rasulullah Saw, maka kami diperintah supaya mengqadha shaum dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat”. (HR. Jama’ah) []
SUMBER: PERSIS