TAK sesuatupun dia bawa dari kekayaan melimpah yang pernah memudahkannya di Makkah ketika hijrah ke Madinah. Dia, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf. Dan Rasulullah ﷺ yang tahu gaya hidupnya dahulu mempersaudarakannya dengan seorang lelaki Anshar kaya raya; Sa’d ibn Ar Rabi’.
Kita hafal kemuliaan dua orang ini. Yang satu menawarkan membagi rata segala miliknya yang memang berjumlah dua; rumah, kebun kurma, dan bahkan istrinya. Yang satu dengan bersahaja berkata, “Tidak saudaraku. Tunjukkan saja jalan ke pasar!”
Dan kita tahu, dimulai dari semangat menjaga ‘izzah, tekadnya untuk mandiri, serta tugas suci menerjemahkan nilai Qurani di pasar Madinah, terbitlah keajaiban itu. ‘Abdurrahman ibn ‘Auf memang datang ke pasar dengan tangan kosong, tapi dadanya penuh iman, dan akalnya dipenuhi manhaj ekonomi Qurani. Dinar dan dirham yang beredar di depan matanya dia pikat dengan kejujuran, sifat amanah, kebersihan dari riba, timbangan yang pas, keadilan transaksi, transparansi, dan akad-akad yang tercatat rapi.
Sebulan kemudian dia telah menghadap Sang Nabi ﷺ dengan baju baru, mewangi oleh tebaran minyak khaluq yang membercak-bercak. “Ya Rasulallah, aku telah menikah!”, katanya dengan sesungging senyum.
Ya, seorang wanita Anshar kini mendampinginya. Maharnya emas seberat biji kurma. Walimahnya dengan menyembelih domba. Satu hari, ketika 40.000 dinar emas dia letakkan di hadapan Sang Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi yang kau infaqkan juga yang kau simpan!”
Keberanian untuk menanggalkan segala kemudahan yang ditawarkan adalah modal yang berharga.
Dalam pikiran kita, memulai usaha dengan seorang istri, sebuah rumah tinggal, dan sepetak kebun kurma seharusnya lebih menjanjikan daripada pergi ke pasar dengan tangan kosong. Tetapi bagi ‘Abdurrahman ibn ‘Auf agaknya itu justru terlihat sebagai belenggu. Itu sebuah beban yang memberati langkahnya untuk menggapai kemuliaan yang lebih tinggi. Keajaiban itu datang dalam keterbatasan, ikhtiar keras si tangan kosong. Bukan pada kelimpahan yang ditawarkan saudaranya.
Keterbatasan adalah pemantik semangat yang melangitkan cita. Selamat membatasi diri, mempersembahkan karya sejati. []