ORANG-orang shalih adalah mereka yang beribadah kepada Allah dengan cita rasa tinggi. Cita rasa yang hadir dari penyisihan kelalaian (ghaflah) dalam mengingat dan menghadirkanNya di hati dan gerak kehidupan.
Dengan menyisihkan lalai, manusia selalu teringat tujuan Allah SWT mengutus nabiNya, “makarim al-akhlaq” atau “mashalih al-akhlaq,” yang keduanya bermakna hampir sama, “menyempurnakan kemuliaan akhlak” dan “memperindah kebaikan akhlak.” Selama manusia menggenggam teguh hal itu, dimanapun dan kapanpun Ia berada, tujuan diutusnya Nabi Muhammad akan selalu membaur dalam kehidupannya.
Dalam sebuah riwayat pernah dikisahkan bahwa ada pencuri masuk di rumah Imam Ahmad bin Khudriya. Ia mencari ke setiap sudut rumah tapi tidak dapat menemukan apa-apa. Ia memutuskan pergi meninggalkan rumah (dengan kecewa), kemudian Imam Ahmad berkata kepadanya:
“Wahai pemuda, ambillah ember dan timbalah air dari sumur. Berwudulah, lalu laksanakan shalat. Tinggallah di sini. Jika Allah memberikan rizki kepadaku, akan kuberikan kepadamu, agar kau tidak keluar dari rumahku dengan tangan hampa.”
Pencuri itu mengikuti saran Imam Ahmad bin Khudriya. Di pagi harinya, datang seorang laki-laki membawa seratus dinar dan memberikannya kepada Imam Ahmad. Kemudian Imam Ahmad bin Khudriya berkata kepada pencuri itu:
“Ambillah ini. Sesungguhnya, ini adalah upah untuk shalatmu malam tadi.”
Pencuri itu terkejut kagum. Tubuhnya bergetar dan air matanya tumpah. Ia berucap:
“Aku telah mengambil jalan yang salah. Aku hanya bekerja satu malam untuk Tuhan, dan Tuhan memuliakanku dengan ini.”
Pencuri muda itu bertaubat dan kembali ke jalan Allah berkat kehalusan pekerti Imam Ahmad bin Khudriya rahimahu Allah. (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 372).
Ketika seseorang telah sampai pada keluhuran pekerti, Ia tidak akan takut pada apapun. Kepasrahan adalah jalan hidupnya. Seperti yang dilakukan Imam Ahmad bin Khudriya (145-240 H), ia tidak takut pencuri itu akan menyakitinya. Ia memutuskan keluar dan menyapanya. Bahkan ia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan apa-apa kepada pencuri yang memang tengah kesusahan. Subhanallah. []
Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/82882/ketika-ahmad-bin-khudriya-kedatangan-pencuri