PADA dasarnya manusia dibekali nafsu oleh Allah. Namun bila kita mampu mengontrol nafsu tersebut dengan baik tanpa harus meluapkannya dengan hal-hal yang dapat membahayakan diri dan orang lain, Insya Allah akan ada sesuatu hal yang dapat kita petik ketika kita mampu membuatnya menjadi suatu kedamaian.
Damai terhadap diri kita sendiri tentunya, tanpa adanya kemarahan.
Saudaraku, ada seseorang bercerita:
“Sejak saya berumur dua puluh tahun, saya sering marah menggerutu padahal saya sering merasakan kesenangan. Mungkin karena saat itu saya masih bodoh akan arti kebahagiaan yang sebenarnya. Saya tidak sadar kalau saat itu telah hidup bahagia. Tetapi kesadaran itu telah lewat waktunya, karena sekarang umur saya telah mencapai enam puluh tahun.
“Yang ada sekarang adalah kenangan yang penuh dengan penyesalan. Jika seandainya dulu saya tahu, sudah tentu saya akan merasa sangat bahagia. Dan saya tidak akan selalu marah dan menggerutu di seperempat masa muda yang gemilang itu.”
“Untukmu wahai saudaraku, akankah engkau akan hidup bahagia dengan perasaanmu, dengan kenikmatan pandanganmu, penciumanmu, dan semua panca inderamu? Terhadap mekarnya mawar di depanmu atau engkau berpura-pura bidih tidak melihatnya, dan melihat bagian lain yang kekurangan sehingga membuatmu tidak menemukan kebahagiaan darinya lalu gelisah dan marah sampai semua itu berlalu? Ketahuilah bahwa engkau pasti akan menangis dan menyesal atas kebodohanmu itu.
“Maka, syukurilah ketika engkau berada dalam masa-masa bahagia. Mulailah memahami arti bahagia dalam hidup, karena hidup sejatinya adalah memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan dunia dan akhirat.” []
Sumber: La Tahzan untuk Wanita/Karya: Aidh Abdullah Al Qarni/ Penerbit: Jabal