DI MATA Nabi, kecemburuan Aisyah adalah hal wajar yang bisa ditoleransi. Beliau melihat, itu adalah tekanan naluriah yang menjelma hawa nafsu. Tekanan yang berada di luar batas kemampuan manusiawi. Karena itu, tak layak ia dihukum atau diberi sanksi.
Bahkan, Nabi menilai kecemburuan Aisyah itu adalah bukti kalau ia tak bisa hidup tanpa beliau. Nabi jadi kasihan terhadap Aisyah sehingga tak henti membujuknya dengan halus.
BACA JUGA: Ketika Allah Bebaskan Aisyah dari Tuduhan Keji
Tetapi bila kecemburuan Aisyah lewat batas, nabi tak tinggal diam. Pernah suatu waktu, Aisyah terlalu cemburu kepada Shafiyyah binti Huyay, Aisyah berkata kepada, “Cukuplah padamu kalau Shafiyyah itu hanya perempuan kerdil.”
Mendengar celaan itu Nabi marah. Amarahnya tak terbendung seraya bersabda, “Tutup mulutmu, Aisyah! Kau telah melontarkan kata-kata yang seandainya diaduk dengan air laut, niscaya ia akan ternoda.”
Nabi ingin agar Aisyah bersikap lembut dan ramah, tidak keras, dan tidak menuruti hawa nafsu. Beliau berkata, “Aisyah, Allah itu Maha Ramah dan menyukai keramahan. Bila keramahan itu tercerabut dari sesuatu, ia akan membuatnya aib dan hina. Sebaliknya, jika diletakkan diatas sesuatu, ia akan menghiasinya. Karena itu kamu harus bersikap ramah!”
Kecemburuan Aisyah tidak hanya dalam satu situasi saja, tetapi dalam banyak situasi.
Pernah dalam suatu malam, setelah tidur tenang bersama suami pujaan, Aisyah terbangun. Tiba-tiba tak dijumpainya suami yang menemani. Hatinya curiga setan pun meniupkan bisikan tipu daya. Muncul di benak Aisyah, “Jangan-jangan Nabi tidur dengan istrinya yang lain. Bukankah malam ini haknya?” Ia lalu keluar menyisir rumah istrinya yang lain. Tetapi, tak dijumpainya Nabi di sana sebelum akhirnya ditemukan di Masjid.
Nabi mengetahui apa yang terjadi. Diberinya Aisyah penjelasan dan dicelanya apa yang telah ia persangkakan. Beliau berkata, “Kau cemburu lagi, Aisyah? Apakah kamu Khawatir Allah dan Rasul-Nya akan berbuat aniaya padamu? Ini malam Nisfu Sya’ban, Aisyah.”
Yang lebih mengherankan, Aisyah malah cemburu dan merasa tersaingi oleh mendiang Khadijah, istri yang paling dicintai Rasulullah SAW dan tak henti dipuji. Padahal Aisyah tak pernah bertemu atau pun melihat Khadijah, tak pernah kenal, dan tak pernah sekali pun berkumpul dengannya. Ia hanya mengetahui cerita-cerita Khadijah melalui Rasulullah.
Bahkan suatu hari pernah Aisyah cemburu kepada Khadijah dengan kecemburuan yang begitu memuncak. Dari kecemburuannya itu lepas ucapan bernada melecehkan. “bukankah Khadijah itu hanya seorang perempuan tua yang kedua sudut mulutnya berwarna merah, dan Allah telah memberimu ganti yang lebih baik?”
BACA JUGA: Siapa Lebih Utama, Khadijah atau Aisyah?
Marah sekali Rasulullah mendengar ucapan Aisyah. Raut wajah beliau seketika memerah. Ditegurnya Aisyah dan ditunjukkannya seperti apa Khadijah. “Tidak,” tukas beliau, “Demi Allah aku tidak diberi ganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman padaku ketika yang lain ingkar, ia membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, ia melimpahkan hartanya padaku ketika semua menyembunyikan tangan, dan darinya Allah memberiku keturunan ketika dari istriku yang lain tidak.”
Aisyah balik terpukul dengan kata-kata Rasulullah. Ia berjanji tidak akan mengulangi serta mengucapkan kata-kata yang membuat Allah dan Rasulnya murka. []
Sumber: Bilik-Bilik Cinta Muhammad/ Penulis: Nizar Abazhah/ Penerbit: Zaman/ 2011