Oleh: Ratna Dewi Idrus
Penulis buku, Ibu Rumah Tangga Tinggal di Banjarmasin
JIKA kita berbuat baik pada orang yang berbuat baik pada kita, itu biasa. Namun jikalau kita berbuat baik pada orang yang telah menyakiti kita, itu baru luar biasa!
Maukah kita menjadi orang yang luar biasa itu?
Bukan. Bukan luar biasa di mata manusia, kenapa? Karena tentu ada yang berkata “Kita bodoh melakukannya!” bukankah selayaknya orang yang menyakiti, kita balas menyakitinya?
Hanya orang-orang yang memiliki ketinggian ilmu dan kepahaman yang dalam mau melakukannya.
Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah pada penduduk Thaif yang tidak memenuhi ajakan beliau kepada Allah serta menolong Islam, penduduk zalim itu malah mencaci maki, meneriaki, mengerumuni beliau untuk mengepungnya, melempari beliau dengan batu hingga berdarah-darah, sekuat tenaga beliau menyelamatkan diri dengan dibentengi Zait bin Haritsah hingga entah berapa banyak luka di kepalanya, akhirnya tibalah keduanya di kebun milik Utbah dan Syaibah, di sanalah Rasulullah berdoa, mengadukan lara hatinya kepada Allah.
“Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya usahaku dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Paling Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa hendak Kau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang menyerangku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab sungguh teramat luas karunia yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang menyinari segala kegelapan dan yang karenanya, urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tidak menurunkan kemarahan-Mu kepadaku atau murka kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan selain dari-Mu.”
Terenyuh hati kita mendengarnya, tak ada sedikitpun beliau mengadukan pada Allah atas perbuatan keji yang dilakukan penduduk Thaif kepadanya, melainkan beliau mengadukan kelemahannya kepada Allah.
Hingga puncaknya, saat Rasul telah tiba di Qar-nul-Manazil, Allah mengutus Jibril dan seorang malaikat penjaga gunung, untuk meratakan Akhsyabaini *. Menimpakannya dua gunung itu pada penduduk Thaif yang telah berbuat keji padanya.
Namun apa yang dilakukan Rasulullah pada Penduduk Thaif itu? Untuk membalas segala kekejian yang mereka lakukan kepadanya? Hingga beliau mengatakan, “Sungguh hari itu adalah hari yang paling sulit bagiku, melebihi beratnya saat menghadapi perang Uhud, hari dimana Allah memberikan kekuasaan penuh padaku untuk membalas.”
Akankah beliau meng-iyakan pertolongan malaikat penjaga gunung untuk meratakan Akhsyabaini hingga penduduk Thaif itu mati binasa semuanya, tak ada yang tersisa?
“Tidak, jangan lakukan itu, aku hanya berharap kepada Allah agar Dia mengeluarkan dari kalangan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan sesuatu-pun dengan-Nya.”
Subhanallah, betapa penuh pukaunya akhlak beliau, memilih membalas kekejian dengan kebaikan bahkan mendoakan.
Akankah ini hanya cerita yang kita abaikan begitu saja? Dengan alasan, ah… itukan Rasulullah, bukan manusia biasa! Tapi pernahkah kita terpikir, ada 25 Rasul pilihan yang diangkat Allah, semuanya baik untuk dijadikan teladan yang Allah pesankan untuk tidak dibeda-bedakan. Namun diantara 25 Rasul itu, siapakah yang paling dicintai Allah hingga detik ini namanya selalu terngiang di telinga kita dan selalu kita ucapkan di setiap shalat-salat kita?
Bukankah Rasul juga manusia biasa seperti kita, makan dan minum serta berjalan-jalan di pasar. Namun yang menjadikannya istimewa karena hati beliau yang begitu indah dan akhlak budi beliau yang begitu tinggi.
Begitu pula kita dalam kehidupan, setiap kita semua dicintai Allah, namun siapakah yang lebih dicintai Allah? Semua terpulang kepada kita untuk selalu berlomba mendapatkan cinta-Nya.
Ya, sekali lagi, mengapa kita mau melakukannya? Cukup satu jawabnya, “Karena kita ingin dicintai Allah” Kekasih yang tak pernah ingkar janji, selalu setia dan menyayangi sampai akhir hayat hidup ini.
Ketika diri disakiti, cukuplah kisah ini sebagai pengingat, agar tak lagi sakit hati manakala diri dicela atau dilecehkan tersebab memiliki banyak kekurangan, karena jiwa ini tak cukup layak untuk mulia dan dibela melainkan Allah semata. []
*Dua gunung di Makkah, yaitu gunung Abu Qubais dan gunung di seberangnya, Qa’aiqa’an.