Oleh: Ratna Dewi Idrus
Penulis dan Ibu Rumah Tangga Tinggal di Banjarmasin
KETIKA hati kita lapang, masalah apapun dapat kita hadapi dengan baik, pekerjaan seberat apapun dapat kita selesaikan, karena hati kita merasa lapang. Namun sebaliknya, jika hati terasa sempit, masalah sekecil apapun akan kita rasakan berat sekali, karena belum apa-apa hati kita tidak mampu menerimanya.
Itulah yang dirasakan Nabi Musa ketika beliau diberikan Allah tugas menjadi Rasul dan menghadapi Fir’aun, seorang raja yang sangat kejam, mengaku dirinya Tuhan sekaligus seorang yang pernah menjadi ayah tirinya dan telah memberinya naungan kehidupan sejak bayi hingga tumbuh menjadi pemuda kuat dan perkasa.
Nabi Musa merasa berhutang budi pada Fir’aun yang telah membesarkannya, dan ia merasa bersalah karena telah membunuh seorang Qibthi yang berkelahi dengan kaumnya Bani Israil, untuk membela. Namun ternyata kaumnya tersebut yang bersalah. Hingga membuatnya harus meninggalkan Mesir karena dikejar tentara Fir’aun yang akan menghukumnya.
Nabi Musa merasa berat memikul beban semua itu. Sebab itulah Nabi Musa memohon kepada Allah untuk melapangkan dadanya,
“Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku,” (QS. Thaahaa, 20:25).
“dan mudahkanlah untukku urusanku,” (QS. Thaahaa, 20:26)
“dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku,” (QS. Thaahaa, 20:27-28).
Dalam tafsir Al Azhar dikatakan ketidakfasihan Nabi Musa dalam berbicara ini, dikarenakan ketika masih kecil dan berada dalam pengasuhan Fir’aun.
Suatu hari, Musa kecil merayap di lantai, menarik kaki kursi mahligai Fir’aun dengan tangannya yang mungil, maka goyahlah kaki kursi dan membuat Fir’aun yang duduk di singgasana hampir terjatuh. Riwayat tafsir lain mengatakan ketika Musa kecil duduk di pangkuan Fir’aun, lalu ditarik-tariknya janggut Fir’aun.
Sebelumnya juga sudah ada tanda-tanda ganjil yang membuat Fir’aun curiga jangan-jangan anak inilah yang dikatakan tukang tenung kelak akan meruntuhkan kerajaannya, karena itu Fir’aun hendak membunuhnya.
Tetapi Asiyah, istri Fir’aun yang sangat menyayangi Musa mencegah niat buruk suaminya, dikatakannya Musa belum berakal, dan Fir’aun membantah kalau Musa sudah berakal. Maka diujilah Musa kecil dengan kedua hidangan, hidangan pertama berisi makanan lezat dan kedua berisi bara api, seketika Musa kecil hendak mengambil makanan lezat, pucatlah wajah Asiyah ketakutan, namun segera Malaikat Jibril mengalihkannya pada bara api hingga bara api yang diambilnya menyentuh mulut mengenai lidahnya. Akhirnya Musa tidak jadi dibunuh, namun sejak saat itu Musa tidak fasih berbicara. Setelah beliau menjadi Rasul, kurang lancar dalam berbicara inipun masih menyelimutinya, hingga Fir’aun mencemoohnya:
“Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?” (QS. Az Zukhruf, 43:52).
Sadar akan kekurangannya, ia memohon kepada Allah untuk melepaskan kekakuan di lidahnya agar orang mengerti apa yang dikatakannya. Nabi Musa memohon Allah menjadikan Harun saudaranya sebagai asisten yang bisa membantunya dalam berbicara,
Kisah Musa ini menjadi pelajaran berharga untuk kita, jika kita menghadapi persoalan yang berat, maka memohonlah kepada Allah untuk melapangkan dada kita, sebagaimana yang dilakukan Musa AS.
Memohon diberikan kemudahan dalam segala urusan dan apa yang menjadi ujian kita dalam kehidupan ini. Kepada-Nya kita memohon diberikan segala kekuatan.
Begitulah yang dilakukan para Rasul saat didera masalah, dihimpit kesulitan, atau merasa tak kuat menghadapi tantangan, para Rasul berdoa kepada Allah, dan doa itu pun dikabulkan-Nya, betapa nikmatnya menjadi hamba yang dekat dengan Allah.
Lewat berbagai kisah dalam Al Qur’an, Allah mendidik kita, ketika menghadapi ujian dalam kehidupan ini, hendaklah kita senantiasa memohon pertolongan-Nya dengan doa-doa terindah yang pernah diajarkan-Nya.
Baca Juga: Inilah Foto Sumur Nabi Musa di Mesir yang Disebutkan dalam Al-Quran
Dengan berdoa, segala beban terasa ringan, segala keputusasaan menjadi hilang berganti dengan sayap-sayap pengharapan yang membumbung tinggi karena kita memohon pada Dzat yang Maha segala.
Doa adalah senjata kita ketika kita beriman dan yakin sepenuhnya pada Allah. Seperti sabda Rasulullah, “Doa itu adalah senjata orang yang beriman, tiang dari agama dan cahaya dari semua langit dan bumi. (H.r. Al Hakim)
Doa juga termasuk ibadah dan shalat itu sendiri bermakna doa. Dengan kekuatan doa, dapat menukar takdir yang tadinya buruk menjadi baik untuk kita. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Tidaklah yang menolak ketentuan Allah kecuali doa. Dan tidaklah yang menambah umur kecuali berbuat kebaikan. (H.r. Tarmidzi dan Ibnu Hibban)
Dari hadits di atas nyatalah benar terasa kasih sayang Allah, bahwa Ia senantiasa menguatkan kita dengan lebih dahulu mengakui ketidakberdayaan diri di hadapan-Nya. Dengan berdoa kita merasa dekat dengan-Nya.
Allah menuntun kita dalam berdoa, yaitu hendaklah terlebih dahulu kita bersuci, menghadap kiblat, memfokuskan pikiran hanya kepada Allah, memuji-Nya, bersyalawat untuk Rasul dan bersyalawat pula sesudah berdoa, adapun ketika kita berdoa dengan mengangkat kedua telapak tangan, hendaklah dengan rendah hati, suara yang lembut, rasa takut, penuh harap, khusyuk dan tidak melampaui batas. Dalam berdoa juga kita turut mendoakan orang mukmin, mencari waktu yang mustajab untuk berdoa. (menjelang berbuka puasa, hari Jumat, bepergian, dizalimi, dsb)
Cara berdoa pertama pilihlah saat yang baik, misalkan di tengah malam, saat hening sepi, ketika itu berdoalah dengan merendahkan diri kepada-Nya.
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,
“…Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah dekat kepada orang yang berbuat kebaikan,” (QS. Al A’Raaf, 7:55-56).
Takut akan murka-Nya dan penuh harap akan keridhaan-Nya.
Betapa banyak Allah ajarkan kita doa-doa dalam Kalam-Nya.
Namun jika kita teliti membaca kisah Rasul, betapa setiap detik kehidupannya baik di saat sendiri atau di tengah keramaian, baik dalam keadaan sedih ataupun gembira senantiasa membina kontaknya dengan Allah, beliau senantiasa mempertinggi mutu diri, mutu iman dan mutu kehidupan. Karena para Rasul itu senantiasa berbuat baik, sehingga doa-doa mereka mudah diijabah Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al A’Raaf, 7:56).
Ayat ini menegaskan makna yang terkandung dalam surat Al Baqarah, 2 ayat 105 yang artinya,
Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Dan Allah pemilik karunia yang besar.
Orang yang senantiasa berbuat kebaikanlah yang dikehendaki Allah mendapat rahmat-Nya.
Namun jikalau doa-doa kita belumlah dikabulkan, bukanlah maknanya Allah tak sayang, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tidaklah seorang mukmin menengadahkan wajahnya (memohon) kepada Allah suatu permohonan, melainkan akan dikabulkan-Nya permohonan itu, atau dicepatkan-Nya memberikannya, atau disimpan-Nya untuk lain waktu.” (HR. Imam Ahmad dan Al Hakim)
Ada yang lebih mengharukan saat kita mendengar sabda Rasul yang lainnya, mengapa doa kita belum juga dikabulkan-Nya.
“Sesungguhnya Allah itu hidup dan menawan. Malu jika hamba itu menengadahkan tangannya, lalu membiarkannya kosong tanpa meletakkan kebaikan dalam tangannya (mengabulkan doanya),” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim).
Karena itu, yakinlah doa-doa kita akan dikabulkan, sabar dan terus berusaha, karena yang paling berhak memilihkan kehidupan terbaik kita adalaha Allah. Khusyukkan hati kita dalam berdoa kepada Allah, membersihkan tubuh dan menghadap ke kiblat.
Percaya dan tawakkal slalu pada-Nya.Hendaklah kita senantiasa sabar dan terus berusaha, karena yang paling berhak memilihkan kehidupan kita adalah Allah. Khusyukkan hati kita dalam berdoa kepada Allah, membersihkan tubuh, sehabis shalat dan menghadap ke kiblat. Percaya dan tawakkal slalu pada-Nya. []