Oleh: Tia Listiana
t_yha.listy@yahoo.com
Akhir pekan lalu, usai menemani seorang sahabat mencari souvenir dan undangan untuk pernikahannya, sahabat saya ini pun mencetuskan ide briliannya,
“Neng, mau refleksi nggak?”
Kenapa saya bilang ‘ide brilian’?
Pertama, karena entah sejak kapan kami berdua ingin refleksi bareng, tapi batal terus. Kedua, waktunya tepat banget. Habis ‘ngukur jalan’ di Pasar Jatinegara dan Pasar Tebet, kaki di-massage. Apa nggak mantap tuh?
Sahabat saya ini menelpon salah satu tempat refleksi langganannya. Tapi katanya full booked, kira-kira sampai jam tujuh malam.
Saya pikir dia menyerah mencari tempat refleksi, nyatanya tidak.
Sambil menyelesaikan menu makan siang kami, dia terus berkutat dengan smartphone dan memastikan ada tempat refleksi lain yang available untuk kami datangi.
“Bisa nggak?” tanya saya, memastikan.
“Bisa nih katanya. Mau, jadi kita?” Dia bertanya balik.
“Hayuklah.”
Baca Juga:Â Putuskan Berhijab, Begini Cerita Melody Eks JKT 48
Sesampainya di tempat refleksi yang dimaksud, dua perempuan tanpa hijab menyambut kedatangan kami.
“Ini yang tadi nelepon ya?” tanya salah seorang yang nampaknya lebih senior.
“Iya, Bu,” jawab sahabat saya.
Kami fokus ke daftar harga yang dilaminating sambil sesekali bertanya dan mendengar penjelasan dua perempuan tersebut.
“Iya, Mbak. Ada yang seluruh badan. Ada yang punggung, tangan sama kaki aja. Totok wajah doank juga ada,” tutur mereka.
“Oh gitu,” ujar saya.
“Mau lihat tempatnya aja dulu?” Mbak senior berusia kisaran kepala empat ini menawarkan.
Belum sempat kami respon, ia kembali melanjutkan kata-katanya,
“Dilihat aja dulu, tempatnya cocok nggak. Nyaman nggak. Soalnya kemarin ada yang berhijab juga, abis lihat tempatnya, nggak jadi.”
Deg!
“Emang tempatnya kayak apa yah?” Saya membatin.
“Nggak pa-pa nih?” Saya memastikan lagi.
“Iyah nggak pa-pa. Kalo Mbaknya nggak nyaman, kita juga ngerjainnya nggak nyaman,” pungkas si Mbak senior tadi.
Diajaklah kami ke sebuah ruangan di lantai tiga. Terdapat beberapa bilik tempat pembaringan. Hanya disekat oleh kayu. Dengan catatan: lelaki dan perempuan bisa masuk ke dalamnya, meski berbeda bilik.
Kok ngeri ya???
Saya jadi ngerti kenapa sebelumnya ada muslimah berhijab yang membatalkan niatnya untuk massage di sana, usai melihat tempat pembaringannya yang seperti itu.
Saya putuskan untuk kembali ke lobby dengan alasan: mau lihat pricelist-nya lagi.
“Kalau cuma punggung, kaki sama tangan, bisa, Mbak?” saya bertanya.
“Bisa, tapi nggak di atas. Nih di sebelah sini. Pake kursi pijat khusus, Mbak. Tapi kalo ada tamu laki, ya nyampur.”
Dengan mempertimbangkan beberapa hal dan memastikan saya tidak perlu menanggalkan pakaian ketika dipijat, saya pun memilih paket tersebut. Begitu juga dengan sahabat saya.
Baca Juga:Â Kenal Sinead O’Conor? Begini Perjalanannya Dari Plontos Hingga Berhijab
Kami pun masuk ke ruangan bercahaya redup. Ada tiga kursi pijat di sisi kiri, dan dua di sisi kanan. Kosong.
Kami memilih sisi kiri, untuk sekalian menaruh tas dan jaket di salah satu kursi.
Kemudian masuk lagi seorang pengunjung perempuan tanpa hijab. Ia pun duduk di sisi kanan.
Sepanjang dipijat, tidak seorang laki-laki pun yang masuk ke ruangan tersebut. Karena si Mbak senior yang ternyata juga terapisnya, memahami ‘kenyamanan’ kami sebagai muslimah berhijab untuk menjaga auratnya, sehingga ia mengondisikan hal tersebut.
“Tadi ada tamu cowok mau masuk, Mbak. Saya bilang di sini cewek semua. Ke atas aja,” cerita si Mbaknya ujar saya kembali dari toilet.
Alhamdulillah …
Mendengar cerita si Mbaknya, saya sisipkan harap sederhana, “Semoga tempat ini makin maju ya, Mbak. Dan ke depannya bisa memisahkan ruangan untuk tamu laki-laki dan tamu perempuan.”
Ia pun mengaminkan.
– – –
Siapapun muslimah berhijab yang diceritakan si Mbaknya tadi, saya ucapkan, “Jazakillah khoyron katsiron, Ukhti!”
Terima kasih telah meninggalkan satu tongkat estafet—yang harus dilanjutkan—di sebuah tempat umum ini. Suatu pesan berharga yang akhirnya membuat sang pengelola tempat menyimpulkan, “Oh kalau tempat pijatnya hanya berbilik begini, tamu perempuan berhijab tidak nyaman yah?”
Dan bukannya tidak mungkin kesimpulan tadi berbuah ‘perbaikan’ di sana. Pemisahan ruang treatment untuk laki-laki dan perempuan misalnya. Aamiin.
– – –
Dalam kesempatan lain, Oki Setiana Dewi juga pernah menceritakan pengalamannya di luar negeri. Ketika ia hendak makan di salah satu restoran, justeru pelayannya yang memberitahu untuk tidak makan di situ. Karena menu restoran tersebut mengandung pork.
Ya, karena pelayannya melihat OSD berhijab!
– – –
Hijab ini bukan sembarang kain.
Hijab ini simbol seorang muslimah ingin taat pada Rabb-nya.
Hijab ini adalah prinsip yang harus dijaga, sebab ia bagian dari perintah Allah.
Dan yakinlah, siapa pun yang menjaga aturan Allah dalam hidupnya, Allah pun akan senantiasa menjaga kehidupannya.
Kalau sudah Allah yang jaga, apa lagi yang perlu kita khawatirkan? []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.