SUATU hari Khalifah Utsman r.a. memanggil lelaki itu. Sang khalifah meminta kesediaan dia untuk memegang jabatan sebagai seorang hakim. Namun, lelaki itu menolak dengan dengan halus tapi tegas.
“Apakah Engkau tak mau menaati perintahku?” tanya Khalifah.
“Sama sekali tidak. Hanya saja saya telah mendengar bahwa para hakim itu ada tiga macam. Pertama, hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua, hakim yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga, hakim yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya benar, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula berolah pahala. Dan saya, atas nama Allah, memohon kepada Anda agar dibe- baskan dari jabatan itu,” terang Abdullah ibnu Umar ibnu Khattab, lelaki itu.
Khalifah Utsman paham betul kadar ketakwaan orang di hadapannya. Di mata masyarakat nama Abdullah ibnu Umar sangat dikenali sebagai sosok yang takwa dan pengikut perilaku Rasulullah yang amat baik. Khalifah sadar akan ketajaman mata hati orang-orang bertakwa, yang kerap mementingkan kehidupan akhirat daripada dunia.
Dengan berat hati Khalifah menerima keengganan Ibnu Umar menyandang pangkat hakim. Akan tetapi penerimaan tersebut disertai dengan syarat agar Ibnu Umar berjanji tidak akan bercerita pada siapapun mengenai keputusan itu. Ibnu
Umar setuju dan peristiwa itu pun hanya diketahui oleh mereka berdua, disaksikan oleh Allah, sang pencip-ta.
Sebagai generasi yang berada di “shaf kedua” Ibnu Umar bermaksud tak hendak mendahului para shahabat, seangkatan ayahnya, Umar ibnu Khattab. Ia menilai mereka lebih pantas menyadang jabatan seperti itu dibanding dirinya. Dan ia lebih memilih terus dan terus meningkatkan diri dalam ibadah dan ketaatan pada Allah SWT.
Hari-hari Ibnu Umar nyaris tak terlewatkan qiyamulail yang ia isi dengan shalat dan berdzikir, membaca Al-Quran, serta merenungkan makna ayat-ayat-Nya, baik qauliyah maupun qauniyah. Membaca ayat-ayat peringatan dan keadaan pada yaumul hisab, pastilah air matanya mengucur, mirip dengan ayahnya yang reaksinya demikian dalam menghayati ayat-ayat tentang kehidupan akhirat.
Bukan hanya dikenal sebagai sosok yang rajin beribadah dan tawadhu, Ibnu Umar semasa hidupnya hingga dikaruniai umur panjang, lebih dari 80 tahun, orang-orang fakir miskin mengenalnya sebagai orang yang sangat dermawan.
Meski dimudahkan rezekinya oleh Allah SWT, Ibnu Umar tidaklah termasuk tipe orang yang mau memamerkan apa yang bisa dinilai orang lain sebagai kesombongan. Ini bisa disaksikan kebiasaan Ibnu Umar mengenakan pakaian sederhana.
Dari sekian banyak shahabat Rasulullah SAW, segelintir di antaranya diberkahi panjang usia. Ibnu Umar yang usianya lebih dari lebih dari rata-rata shahabat seangkatannya itu melampaui masa hingga zaman khulafaurasyidin berlanjut ke masa khilafah Bani Umayyah.
Saat itu peradaban Islam kian menuju puncaknya. Harta benda melimpah, istana-istana, masjid-masjid, pusat-pusat kajian Islam, serta kantong- kantong ekonomi tumbah dengan pesatnya. Namun, Ibnu Umar tak silau oleh kilatan nikmat dunia. Ia tetap tak pernah absen melakukan qiyamulail. Lebih-lebih bila Ramadhan tiba. Sepanjang hari ia habiskan waktunya buat mendekatkan diri pada-Nya.
Saat Khalifah Utsman yang pernah menawarkannya jabatan hakim, dibunuh orang tak bertanggung jawab, banyak orang menawarkan bai’at pada diri Ibnu Umar. Ia diminta keluar rumahnya untuk dibaiat. Tapi, Ibnu Umar tak menanggapinya. Ia tetap terdiam di rumahnya, sampai-sampai ia dipaksa dan diancam akan dibunuh untuk melakukan hal itu.
Suasana berubah menjadi kekacauan. Ibnu Umar termasuk salah seorang shahabat yang didesak menggantikan khalifah yang telah mangkat. Dalam situasi seperti itu ia lebih banyak berdzikir dan mohon pertolongan Allah. Apalagi tiap-tiap kelompok yang mengajukan shahabat menjadi khalifah dianggapnya sudah tidak proporsional lagi, yakni memintanya dengan memaksa di bawah ancaman pedang.
Hingga ia akhirnya membai’at Ali ibnu Abi Thalib yang banyak didukung kaum Muslimin. Fitnah itu pun terjadi. Perang yang melibatkan kelompok Ali dan kelompok Mu’awiyah tak terelakkan. Padahal, keduanya sama- sama pasukan Islam. Ibnu Umar adalah tipe shahabat yang sangat tak tega membunuh orang yang berikrar “la ilaha illallah, Muhammadar Rasulullah”.
Masa tuanya yang ia saksikan adalah perubahan khasiat zaman di saat kaum Muslimin di ambang puncak kejayaan Bani Umayyah. Harta melimpah ruah, segala keinginan duniawi mudah didapatkan. Ibnu Umar kian mengencangkan spirit ibadahnya. Ia tak mau terjebak dengan jabatan dan harta yang menggoyahkan keimanan.
Ibnu Umar telah meninggalkan dunia dengan istiqamah. “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutaman tak ubahnya ia dengan Umar,” demikian kesaksian orang- orang di sekitarnya. []