Oleh: Nur Aini, S.Si
Guru, Tinggal di Pare, Kediri, Jawa Timur
CINTA monyet adalah istilah yang sering dipakai untuk percintaan-pacaran remaja. Dahulu cinta monyet diperuntukkan bagi anak SMA atau paling tidak anak SMP. Dahulu persepsi cinta monyet hanya sebatas cinta main-main saja, tidak serius. Ketika putus ya cari lagi, mungkin seperti itu.
Namun saat ini. Seiring dengan semakin cepatnya perpindahan informasi, akibat tayangan TV yang tidak mendidik, akibat orang tua yang cenderung membebaskan anaknya, akibat buruknya teladan dari generasi sebelumnya, cinta monyet sudah menjalar kepada anak-anak SD, maka tak salah jika disebut sebagai cinta anak monyet. Pelakunya semakin kecil. Fenomena cinta anak monyet ini tentu membuat kita prihatin, pacaran yang merupakan pendekatan pada pintu zina jelas haram. Baik pelakunya anak SD, remaja, dewasa maupun sudah tua.
Fakta berbicara, usia baligh anak saat ini semakin cepat. Tak jarang anak perempuan kelas 4 SD sudah haid, tak jarang anak laki-laki kelas 5 SD sudah ihtilam. Secara fisik anak sudah dewasa namun secara pemikiran mereka belum mengerti konsekuensi dari baligh adalah dimulainya hisab atas amal mereka.
Sebaliknya yang lebih dominan pada anak yang baligh di usia dini adalah ketidakmampuan mereka mengendalikan perasaan, terutama perasaan tertarik kepada lawan jenis. Jadilah kecil-kecil sudah menjadi pelaku pacaran. Karena pelakunya masih kecil, dari segi keilmuaan mereka sangat minim. Namun dari segi gelora perasaan sulit dikendalikan, maka peluang mereka jatuh dalam dosa maksiat yang lebih besar lagi akan semakin terbuka lebar. Fenomen cinta anak monyet juga akan berpengaruh pada kualitas generasi yang akan datang. Potensi anak dalam memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu akan terganggu, pikiran mereka terbelah.
Ketika Anak Jatuh Cinta
Kecil-kecil sudah pacaran, memang sangat membuat kita sebagai orang tua merasa prihatin. Namun menghadapi fakta seperti ini sebagai orang tua kita tidak akan bertindak gegabah apalagi mengambil tindakan keras penuh paksaan. Kita berusaha menyelami pikiran anak-anak kita, berusaha memahami apa yang mereka rasakan, bukan dalam rangka memaklumi namun untuk mencari solusi terbaik agar mereka tidak terus berada dalam masalah.
Jatuh cinta adalah salah satu naluri yang diberikan Allah SWT kepada makhluknya, yaitu sebagai bagian dari naluri melestarikan jenis, tanpa cinta dan kasih saying mungkin dunia ini akan kacau balau. Ketertarikan kepada lawan jenis adalah hal yang normal, namun bukan berarti boleh diumbar. Karena naluri adalah karunia dari Allah SWT maka sudah seharusnya pengaturan dan pemenuhannya juga disesuaikan dengan aturan dari Sang Pencipta. Termasuk pula menyikapi fenomena kecil-kecil sudah jatuh cinta dan berpacaran.
Oleh karena itu, ketika anak jatuh cinta, salah satu hal yang peru kita pahami adalah karakter naluri ini. Karakter naluri salah satunya adalah muncul karena adanya rangsangan dari luar. Tidak mungkin anak jatuh cinta jika belum mengenal lawan jenis, tidak mungkin anak tiba-tiba jatuh cinta tanpa didahului informasi pendukung, misal dari tayangan televisi yang hanya dihiasi tayangan sampah, bukannya menyajikan informasi bermanfaat, sinetron tak berkualitas dengan setting dunia remaja yang mengumbar perasaan. Apapun latar settingnya, mau sekolah, mau di rumah, mau di jalanan semuanya bercerita tentang cinta-cintaan. Tidak hanya TV, kebebasan mengakses internet juga memudahkan anak mendapatkan informasi termasuk pula tayangan-tayang vulgar yang menyebar dimana-mana.
Maka, salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah meminimalisir anak untuk bersentuhan dengan informasi sampah. Ada banyak cara, mulai dari membatasi pemakaian telepon pintar, membatasi waktu menonton TV hingga memberikan pendampingan optimal, dengan kata lain kontrol orang tua sangatlah berperan. Jangan sampai orang tua malah senang dan tenang melihat anak nyaman dengan gadget di tangan atau duduk manis di depan TV.
Solusi lainnya adalah mengalihkan kesibukan anak kepada hal-hal positif dan produktif. Bermain bersama, belajar bersama, menghafal Alquran, menyibukkan diri dengan olahraga, mengikutkan anak pada kajian keislaman disesuaikan dengan umur dan lain sebagainya, inti dari solusi ini adalah tidak membiarkan anak menikmati dunianya sendiri, melibatkan mereka dalam interaksi social yang sehat sesuai syariat.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah, menjadi sahabat bagi anak. Memberikan waktu terbaik kita untuk mendampingi buah hati. Memberikan informasi yang benar, memberikan ilmu sebagai bekal dalam kehidupan. Dengan kedekatan orang tua dan anak, anak tidak akan mencari tempat mencurahkan isi hati kepada orang lain apalagi kepada lawan jenis. Tidak mengekang anak namun tidak mengumbar anak, orang tua menjadi tempat curhat yang menyenangkan bagi anak, tidak langsung memarahi dan memvonis anak bersalah, namun berusaha menasehati dengan kasih sayang.
Memang, saat ini tantangan dalam mendidik anak sangatlah luar biasa. Maka dibutuhkan kesungguhan orang tua dalam mendidik anak, memposisikan anak sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Juga diperlukan kepeduliaan lingkungan dan masyarakat, menciptakan masyarakat yang bersahabat dengan anak mutlak diperlukan.
Masyarakat yang mempunyai visi mengedapankan berlomba dalam kebaikan, menyerukan yang makruf dan bersama mencegah kemungkaran. Dan yang tak kalah pentingnya adalah peran Negara. Kebijakan Negara yang membuat para orang tua sibuk mengejar materi, memberikan kebebasan akses informasi tanpa batas, dan ketidaktegasan dalam sistem sanksi sangat berpengaruh pada pola pengasuhan anak serta kualitas anak saat ini.
Negara dengan kebijakan semakin liberal akan berdampak buruk pada proses pendidikan anak. Tentu hal ini tidak boleh kita biarkan. Pembiaran pada pelaksanaan sistem kapitalistik sekuler sama saja dengan mempertaruhkan masa depan bangsa ini, alih-alih melahirkan generasi beriman dan bertakwa, yang terjadi malah sebaliknya, melahirkan generasi yang menuntut kebebasan dan tidak mau terikat pada aturan Allah SWT, generasi yang maunya mengumbar hawa nafsu.
Oleh karena itu, untuk melindungi generasi dari kerusakan moral dan menyelamatkan generasi demi masa depan diperlukan individu-individu yang bertakwa mempunyai komitmen untuk melaksanakan perntah Allah dan menjauhi seluruh laranganNya, masyarakat yang menjadikan syariat sebagai standar perbuatan dan Negara sebagai institusi utama menerapkan syariat terbaik dari Allah SWT secara menyeluruh. Dan ini membutuhkan perjuangan untuk melakukan perubahan. Maka harus kita mulai dari detik ini juga, demi masa depan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawab. []