DALAM pernikahan, konsep “kau” dan “aku” telah menyatu menjadi “kita”, dengan peran dan kodrat masing-masing.
Inilah cinta itu. Cinta kita. Keluarga kita. Anak kita. Rumah kita. Motor kita. Handphone kita. Gadget kita. Bukan lagi egois dengan ke-aku-an masing-masing.
BACA JUGA: Pasanganmu Ketahuan Selingkuh? Lakukan Ini!
Perhatikan kalimat “kau” dan “aku” pada empat contoh kalimat berikut ini.
“Jangan ganggu aku lagi. Aku gak mau lagi kau sakiti”.
“Mengapa kau selalu membuat masalah? Tidak adakah yang bisa kau lakukan selain membuat masalah?”
“Kau selalu mengeluh saja. Apa masalahmu bisa selesai dengan mengeluh?”
“Aku ingin tidur. Aku sangat lelah. Jangan ganggu aku dengan masalahmu”.
Pada kalimat di atas, kesan ego masih sangat tinggi. Suami dan istri belum menjadi satu bagian, belum memiliki satu jiwa, masih berdiri masing-masing. Ada aku di sini, ada kau di sana.
Kau dan aku masih menjadi dua ego yang bertahan dan bersikukuh dengan ke-aku-an sendiri-sendiri.
Bagaimana mengubahnya menjadi “kita”?
Perhatikan contoh kalimat pertama. “Jangan ganggu aku lagi. Aku gak mau lagi kau sakiti”. Di sini ada “aku” yang sangat mandiri.
Akan lebih nyaman bila menyatu menjadi kita, seperti ini: “Ayo kita duduk berdua, menyatukan hati dan perasaan kita. Aku merasa sakit hati, tapi aku yakin kita bisa menyelesaikannya”.
Dalam kalimat ini, dari aku sudah mulai menjadi kita, pada contoh kasus yang sama dengan kalimat pertama.
Sekarang perhatikan contoh kalimat kedua. “Mengapa kau selalu membuat masalah? Tidak adakah yang bisa kau lakukan selain membuat masalah?” Di sini ada “kau” yang selalu disalahkan.
Akan lebih nyaman bila ungkapannya meng-kita, seperti ini: “Setiap hari kita menghadapi masalah baru. Mungkin saja engkau tengah menghadapi problem yang berat saat ini, namun yakinlah masalah itu akan bisa kita atasi bersama”. Pada kalimat ini, tidak menuding “kau” sebagai penyebab masalah.
BACA JUGA: Ini Cara Sederhana Bikin Pasangan Anda Bahagia
Perhatikan contoh kalimat ketiga. “Kau selalu mengeluh saja. Apa masalahmu bisa selesai dengan mengeluh?”
Di sini ada “kau” yang dituduh selalu mengeluh. Tentu “kau” menjadi sangat tidak nyaman, karena si “aku” seakan-akan tidak memiliki kesalahan sama sekali. []