SEBUT saja Arya. Usianya 5 tahun. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya sopir angkot dan ibu mengurus rumah tangga. Kali pertama kedatangannya ke sekolah sungguh luar biasa. Benda-benda di sekitarnya bisa ia gunakan untuk memukul teman jika ada masalah.
Arya anak normal yang tidak menggunakan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang tidak maupun yang diinginkannya. Sehingga semua teman pun takut ketika melihat Arya.
Saya mengamati mengapa Arya demikian. Ternyata orang tuanya lah yang secara tidak langsung mengajarkan hal itu. Suatu saat saya pernah melihat ibu Arya menjewer kuping anaknya karena Arya susah masuk kelas. Lain kali saya pun melihat ibunya menyeretnya ke rungan karena ia tetap ingin di luar ruangan.
Saya pun mendekati ibunya. “Mama Arya, boleh kita bicara sebentar?”, tanya saya.
Ia pun menjawab, “ Iya, Mi ada apa?”
“Kalau di rumah, apakah Arya suka dimarahi?” tanya saya kemudian.
“Iya, habis gimana, Arya nya nakal,” jawabnya sambil tersipu malu.
“Ayahnya juga suka marah?” saya kembali bertanya.
“Iya, malah kalau bapak Arya suka mukul pake sapu, lebih galak daripada saya,” tuturnya serius.
Berdasarkan informasi ini saya pun mengadakan pertemuan dengan kedua orang tua Arya. Saya menyampaikan bahwa mendidik anak menggunakan kekerasan itu sangat tidak aman. Orang tua hendaklah berkasih sayang kepada anak mereka. Berbicara dengan lembut, membelai, memeluk, menciumnya harus dilakukan oleh orang tua Arya. Jika orangtua bersikap keras dalam mendidik akibatnya anak pun akan bersikap keras kepada orangtua maupun orang lain. Orang tua Arya pun berjanji untuk berubah.
Alhasil, setiap Arya mandek tak mau masuk kelas, ibunya pun mulai bicara dan bertanya, “Arya kenapa gak mau masuk?” tanya Mama Arya suatu kali.
“Aku mau ke warung dulu,” Arya pun menjawab.
Selain itu sebelum meninggalkan Arya di sekolah Mama Arya memeluknya, menciumnya, mendoakannya lalu bicara, “Mama pulang dulu ya, nanti Arya pulang sendiri, Mama menunggu di rumah…”
Saya mendekati dan bertanya, “Vagaimana bapaknya Arya sekarang sudah mulai berubah?”
“Alhamdulillah nggak pernah marah-marah lagi, memukul juga nggak, malah suka mengingatkan saya supaya bicara dengan Arya,” tukasnya.
Hingga tiba suatu hari Mama Arya datang menghampiri kemudian berkata, “Ummi, kemarinkan Arya pulang sendiri, pas nyampe rumah dia cerita. Gini katanya, ‘Mama, Mama tadi Aa ketemu sama kakek-kakek di belokan, sedang mendorong gerobak, rodanya nyangkut ke batu, terus Aa tanya, ‘Kakek perlu bantuan?’. Kata kakek, ‘Perlu.’ Terus Aa bantu dorong gerobaknya sampai bisa maju lagi.’
“Saya gak bisa ngomong apa-apa Ummi. Saya Cuma bisa menangis terharu. Ummi kan tau sendiri gimana waktu pertama kali sekolah di sini. Saya juga kadang suka malu punya anak kayak Arya. Tapi sekarang udah bisa ngomong gitu, Arya udah berubah, Ummi,” tukasnya dengan mata berkaca-kaca dan suara yang tertahan.
Saya pun memeluk arya dan berkata, “ Aa terima kasih banyak ya sudah mau membantu kakek, Alhamdulillah …”
Arya pun hanya mengangguk dan tersenyum seraya melihat mamanya.
Orang tua Arya berusaha berubah menjadi orang tua yang baik. Berbicara dengan anak ketika menemukan masalah. Maka lambat laun, anaknya pun berubah seiring perubahan yang terjadi pada orang tuanya.
Orang tua berharap memiliki anak yang baik dan menyenangkan hati. Namun orang tua lupa apakah orangtua sudah menjadi orang tua yang baik dan menyenangkan hati bagi anaknya atau belum. Karena tanpa disadari orang tualah yang membentuk karakter anak apakah ia menjadi pemilik karakter baik atau buruk. []