PERJALANAN hidup manusia itu tak mudah untuk diprediksi, apalagi urusan hati dna keimanan. Seperti halnya yang terjadi pada tokoh budayawan Indonesia yang juga seorang penulis novel terkenal Sutan Takdir Ali Syahbana.
Suatu ketika Sutan Takdir terlibat diskusi dengan Kiai Haji Agus Salim soal ibadah dalam Islam.
“Saya heran melihat Pak Haji ini, mengapa kok masih sembahyang. Bagi saya sembahyang itu tidak masuk akal,” ungkap Takdir.
“Maksud kamu bagaimana?” tanya KH Agus Salim.
“Ya, saya tidak mau terima sesuatu yang tidak masuk akal, yang tidak bisa dibuktikan.”
“Oh, begitu. Baik,” ucap sang Kiai, “Kamu kan orang Minang seperti saya, dan sekali-sekali kamu pulang ke Minang, kan?”
“Ya, memangnya kenapa?”
“Nah, kalau pulang kamu naik apa?”
“Naik kapal!” jawab Takdir (waktu itu belum ada pesawat udara).
“Nah, kamu naik kapal itu sudah tidak konsisten, karena begitu kamu naik ke geladak kapal, maka yang lebih banyak berfungsi itu “percaya”, “bukan tahu”. Percaya bahwa kapal itu pergi ke Padang tidak belok ke Pontianak, percaya bahwa nanti mesinnya tidak macet, percaya bahwa kapal itu tidak pecah, atau karam, pokoknya semuanya percaya. Dan untuk itu semua kamu tidak menunggu sampai paham. Kalau kamu menunggu sampai paham, kamu harus pelajari dulu kapal itu, baru naik kapal, dan itu mustahil!” tegas KH Agus Salim
Ia pun kembali melanjutkan penjelasannya, “Kalau kamu konsisten dengan cara berpikir seperti itu, kalau mudik ke Minang itu harusnya kamu berenang. Dan mekanisme berenang itu belum tentu kamu pahami. Taruhlah kamu paham, nanti berenang menyeberangi Selat Sunda yang di situ terkenal sekali gelombangnya, dan nanti kamu akan diombang-ambingkan oleh gelombang laut. Pada waktu itu kamu perlu pegangan, dalam keadaan putus asa mencari pegangan, ranting pun kamu pegang. Untung kalau ketemu balok yang besar, yang bisa mengambangkan kamu, tapi kalau tidak, ranting pun kamu pegang.”
Begitulah percakapan dua orang cendikiawan. KH Agus Salim memberikan metafor yang tepat tentang ‘iman’ sehinga mampu dipahami oleh Sutan Takdir yang sangat rasional.
Buya Hamka menuturkan bahwa Sutan Takdir menemukan ‘lailatul qadr’, yaitu ketika tiba-tiba dia menyadari bahwa hidup ini ada kelanjutannya, karena dia menghadapi satu persoalan yang dia sendiri tidak bisa mengerti.
Kisah itu terjadi di Italia, ketika pesawat terbang yang ditumpangi Takdir mengalami kecelakaan dan dia selamat. Dia merasa tidak bisa menerangkan bagaimana dia bisa selamat. Akhirnya, peristiwa itu menjadi sebuah momen transformasi dari seluruh hidupnya. Dia menemukan sesuatu yang baru, yang membuatnya seakan-akan dilahirkan kembali. Demikianlah Allah menunjukkan hidayah dan membolak-balikan hati. []
SUMBER: INPASONLINE