Oleh: Muckhlisin M.
Pengajar sastra di pedalaman Banten Selatan, pemenang pertama lomba cerpen nasional (2017), menulis esai dan prosa di berbagai media cetak dan online.
muckhlisinm@gmail.com
SEBAGAI wartawati yang berjiwa independen, Lauren Booth berencana mewawancarai seorang warga Palestina yang masih gigih mempertahankan rumah dan tanahnya di perkampungan Gaza. Ia menyusup masuk bersama rombongan pengungsi yang kebanyakan dari para lelaki yang menyandang rangsel di pundak mereka. Beberapa mobil yang mengangkut para pengungsi melintasi perbukitan, serta meenempuh beberapa puluh kilometer jalan beraspal, kemudian disambung dengan dua kilpmeterjalan berlumpur. Lauren mengalihkan tatapannya ke arah perbukitan, sambil berpikir bahwa orang-orang selalu saja menemukan jalan untuk melewati pos-pos perbatasan.
Para pengungsi itu bagaikan koloni semut-semut hitam yang selalu mendapatkan jalan keluar, solusi, saat rumah dan jalanan mereka dihancurkan oleh persenjataan militer. Mereka cerdik dalam menyesuaikan diri, dan terus dapat bertahan dengan gigih. Selama berhari-hari, semut-semut ini menggali dengan mulut dan kaki mereka yang mungil, mengangkut butiran tanah ke tempat-tempat yang jauh sekali. Mereka membuat lubang yang sangat kecil tapi sederhana dan mencukupi segalanya. Keesokannya, mereka akan lanjut meneruskan perjalanan seakan tidak terjadi apa-apa.
Di jalanan berlumpur, orang-orang terlihat seperti gundukan-gundukan hitam kecil, bergerak berurutan. Sekumpulan manusia itu berjalan terpincang-pincang, berhenti, berjalan maju, lalu berputar halun untuk mencari jalan baru lagi. Mereka akan menempuh apapun untuk mencapai tujuan mereka. Beberapa orang memanjat dan melompati tembok-tembok berlumpur. Beberapa saat kemudian, muncul buldozer-buldozer yang menghancurkan jalan-jalan mereka dengan bebatuan, tanah, dan balok-balok semen.
BACA JUGA: Pesan dari Jalur Gaza
Rombongan pengungsi itu berhenti selama beberapa waktu. Mereka saling memandang dan menatap, pada keringat dan air mata mereka. Namun lagi-lagi, tak lama kemudian mereka berhasil menemukan jalan baru lagi, membikin pematang, mengangkuti balok-balok untuk membuat jembatan, lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan ketekunan dan kegigihan yang abadi.
Dengan rasa kesal, Lauren menempuh jalan semut itu, kakinya merasa nyeri. Celana dan blusnya dipenuhi lumpur, namun ia berusaha menjaga tasnya yang berisi kamera dan alat-alat perekam lainnya. Seorang laki-laki Palestina bertanya, untuk apa seorang perempuan Amerika bersikeras menembus perbatasan jalur Gaza.
“Saya seorang wartawati, dan saya akan mewawancarai warga Palestina yang berusaha mempertahankan tanah dan rumahnya di wilayah Gaza.”
Lauren agak terbata-bata menjelaskannya, ditambah dengan aksen dan logat Arab lawan bicaranya, meskipun ia lebih banyak menggunakan bahasa Inggris.
Waktu berjalan agak lamban. Panas menyengat dan berdebu. Tembok-tembok yang dijaga para tentara bersenjata, pemeriksaan kartu identitas dan antrean panjang tampak begitu jelas dalam pengamatan Lauren. Ia bermaksud mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, tetapi ia merasa khawatir karena pernah mendengar beberapa teman wartawan yang disita ponselnya, kameranya juga buku catatannya sekaligus.
Kini, setiap bukit dan jalan berlumpur menjadi tantangan tersendiri bagi Lauren. Ia terus bergerak semakin dekat ke pos pemeriksaan terakhir di depan kemah pengungsi Qalandia. Ia berhenti sejenak, menatap antrian panjang yang terdiri dari para wanita, anak-anak, laki-laki, tua dan muda, pedagang, pelajar, keledai, semuanya bergerak maju dan mundur. Suara seruan, bisikan, permohonan, dan suasana begitu tegang setelah seorang lelaki dihajar tengkuknya dengan senjata laras ganda, meski tak boleh ada pihak manapun yang berani mengambil gambarnya.
Matahari memanggang puncak kepala para antrian di pintu gerbang. Aliran keringat menuruni leher dan menaungi mata mereka. Meski begitu, tidak ada pilihan selain berjalan terus dan terus. Lauren melangkah dengan penuh waspada, sementara telinganya menangkap sedikit-sedikit pembicaraan: “Mereka tidak akan mengizinkan siapapun untuk melewati perbatasan. Hanya mereka yang mendapat surat izin dari penguasa.”
Lauren mendekati pos pemeriksaan dan berdiri di depan balok-balok semen. Beberapa tentara Israel sedang berkumpul. Sebagian dari mereka mungkin belum sampai 20 tahun usianya. Kumis mereka saja belum tumbuh. Di depan mereka ratusan pria dan wanita menanti, mengharap, memohon kepada para tentara dengan semampu mereka, supaya mengizinkan mereka menyeberangi perbatasan.
Tapi tak ada gunanya permohonan, air mata, usia, penyakit, pendidikan, universitas. Ya, semuanya itu tak dianggap oleh mereka.
Tiba-tiba salah seorang tentara melempar bom gas, yang mengeluarkan bunyi teredam sewaktu meledak dalam kerumunan. Orang-orang berlari, terbatuk-batuk, pingsan, tapi tak ada gunanya, juga tak dianggap oleh mereka.
Lauren bangkit dengan pakaian dan rambut yang penuh diliputi debu. Ia maju beberapa puluh langkah, berdiri di sekitar balok-balok semen. Sejenak ia terpaku diam sambil mengamati suasana di sekitar itu. Seorang tentara memeriksa tas yang dibawanya, setelah ia menunjukkan kartu identitas sebagai wartawati Amerika yang telah mendapat izin.
Setelah menembus perbatasan, sampai juga Lauren menemui seorang ibu yang tinggal di perkampungan Gaza. Sebelumnya, ia mengetuk salah satu pintu rumah warga setempat, hingga pintu itu pun terbuka. Maka, keluarlah seorang ibu tua sekitar 65 tahun, seraya tersenyum lembut menyambut sang tamu.
“Silakan masuk, ayo duduk di sini,” ucap si ibu dengan penuh kehangatan. Wajahnya berseri dan matanya bersinar. Lauren dipersilakan duduk di sebuah tikar, seakan-akan rumahnya adalah tempat terindah di dunia ini.
Sesaat kemudian, Lauren mengamati kondisi rumah si ibu dengan seksama. Di sekitar itu hanya ada dinding, atap, sedangkan dinding di sebelah kanannya sudah roboh karena ledakan bom beberapa waktu lalu. Ia melongok ke sebuah kamar yang dinaungi atap seng, hanya terdapat dua tikar yang terhampar. Yang satu tikar untuk tidur, dan satunya lagi untuk melaksanakan salat. Tak ada lemari, kursi, televisi maupun spring bed di kamar itu.
Perasaan miris menyelimuti Lauren, meski wanita tua itu menyambutnya dengan penuh antusias dan kehangatan, dan terus saja menampakkan senyum dengan penuh kebahagiaan.
Tak berapa lama, si ibu melangkah ke arah dapur, kemudian muncul lagi sambil menyuguhkan makanan. Mereka duduk berhadapan di atas tikar. Lauren mengamati nampan yang hanya berisi roti, bumbu dan selada. Wanita tua itu mempersilakan sang tamu agar menikmati hidangan sederhana tersebut.
Dengan rasa prihatin Lauren menanyakan di manakah sanak-saudara dari ibu tua itu. Ia menyatakan dirinya punya tiga anak yang sudah dewasa dan berkeluarga, tapi mereka semua sudah tinggal di pengungsian.
“Ayo, silakan makan,” lagi ibu tua itu menawarkan.
Lauren menolak tawaran itu, tetapi kemudian si ibu menegaskan, “Memang sangat terbatas, mohon maaf karena hanya ini yang saya punya.”
Untuk menghormati tuan rumah, Lauren mengambil seiris roti dan memakannya pelan-pelan. Ibu itu tersenyum dengan tatapan berkaca-kaca, lalu katanya lagi, “Bagaimanapun saya ini tuan rumah, dan kamu adalah tamu saya, iya kan?”
Sambil mengunyah roti, Lauren mengajak ibu tua itu agar menyantap hidangan bersama-sama. Seketika ia terheran-heran, karena si ibu justru menolak untuk makan bersama.
“Lho, kenapa, Bu?” tanya Lauren.
Sambil tersenyum, si ibu menjawab bahwa dirinya sedang melaksanakan puasa Ramadan.
“Berarti Ibu tidak ikut makan?”
“Iya, enggak apa-apa, karena saya puasa, sedangkan kamu adalah tamu saya, dan boleh jadi lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”
Lauren merasa menyesal dan prihatin. Dalam benaknya tak lepas dari kecamuk pikiran bahwa ia telah memakan makanan yang disimpan ibu tua itu walaupun hanya sedikit.
BACA JUGA: Gaza Palestina, Tempat Dagang Terakhir Ayahnya Rasulullah ﷺ
“Dengan makanan di rumah yang terbatas ini, kenapa Ibu masih juga berpuasa dan menahan lapar?” tanya Lauren heran. Dengan perasaan dongkol, ia sempat memprotes ajaran Islam yang mengharuskan orang yang hidupnya miskin dan sangat terbatas, tetapi ia masih saja berjuang keras untuk menahan lapar dan dahaga selama 30 hari.
Lauren kemudian bertanya lagi, “Ibu ini sedang susah, kekurangan bahan pangan di sini. Lalu, untuk apa berpuasa?”
Sambil tersenyum dan menghela napas, si ibu menjawab, “Kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah, karena masih bisa merasakan lapar, seperti apa yang dirasakan orang-orang miskin.”
Mendengar jawaban itu, Lauren tak kuasa membendung air matanya. Berlama-lama ia memandangi wajah si ibu dengan tatapan berkaca-kaca. Dalam hatinya ia merasa terenyuh dan tergugah pada sikap dan kepribadian si ibu, meskipun ia tidak mempunyai apa-apa di dunia ini, tetapi justru ia tidak mengeluh dan menggerutu dalam menghadapi nasib getir yang dialaminya. Justru ia merasa bersyukur, dan masih bisa berbagi rasa dengan orang-orang yang lebih malang dari dirinya.
Setahun kemudian, Lauren Booth muncul di saluran TV Islam di Amerika Serikat dalam acara Global Peace and Unity. Dalam acara tersebut, Lauren mengenakan hijab merah, tampil di depan mimbar dengan mengucap salam sambil berkata, “My name is Lauren Booth, and I am a Moslem.” []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.