Oleh: Rahman Hanifan
KETIKA melihat sesuatu yang tak pas di hati, secara naluri kita sering ingin membenahi. Pun ketika yang dirasa tak pas adalah perilaku seseorang, kita juga pengen mengkritisi, memberi nasihat. Begitupun diri ini, seringkali merasa ‘gemes.’ Kadang ingin memberi nasihat, kadang ingin mengkritik, kadang ingin berteriak, kadang ingin marah!
Akan tetapi, pada satu titik, hanya rasa malu yang kemudian menderu. Malu pada diri. Karena belum mampu senantiasa menasihati dan mengkritik diri. Tak pernah berteriak dan marah pada diri yang konyol ini. Malu untuk memberi nasihat, karena yang akan memberi nasihat sesungguhnya jauh lebih error daripada yang akan diberi nasihat.
BACA JUGA:Â Nasihat untuk Laki-laki
Malu memberi kritik, karena yang akan dikritik barangkali kualitas ilmu, iman, dan amalnya jauh di atas diri ini. Apalah lagi untuk berteriak dan marah-marah, sungguh hanya akan membeberkan keburukan sifat diri.
Belum lagi, kritik yang dilakukan tidak dengan cara yang tepat, seringkali justru kontraproduktif. Tidak memperbaiki, tapi justru tambah memperburuk. Terkadang juga menimbulkan rasa antipati, kemudian merusak komunikasi dan persaudaraan atau persahabatan.
Akan tetapi, agama ini sejatinya adalah nasihat. Ad diinu nashiihah, demikian Rasul menyampaikan. Kita pun diperintahkan untuk saling memberi nasihat. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Maka perintah itu pun harus dijalankan. Karena kekhilafan dan kekurangan memang telah menjadi sifat manusia. Maka nasihat orang lain barangkali yang akan membuat diri kita lebih baik dalam meniti hidup ini. Nasihat menjadi hadiah seorang muslim bagi muslim lainnya. Saling memberi hadiah. Hadiah yang manfaatnya dapat dinikmati hingga di akhirat nanti.
Nah, tugas kita terus belajar. Pada posisi memberi nasihat. Bagaimana memberi dengan sebaik-baiknya? Waktu yang tepat, suasana yang tepat, tempat yang tepat, serta tutur kata yang paling baik. Dan yang tak kalah penting, bagaimana agar kita layak menjadi pemberi nasihat.
BACA JUGA:Â Nasihat Indah Imam Syafi’i tentang Ilmu
Terus perbaiki diri, terus menasihati diri, agar nasihat yang kita berikan pada orang lain tak menjadi omong kosong. Agar nasihat yang kita berikan memiliki daya gerak dan daya ubah. Agar nasihat yang kita berikan memiliki nilai dalam pandangan Allah SWT, memberi manfaat tidak hanya bagi yang menerima, tapi juga buat pemberi nasihat sendiri.
Pada posisi sebagai penerima, kita juga harus belajar, agar datangnya nasihat tak justru membuat hati kita keras karena berusaha menolak, karena merasa lebih baik dari si pemberi nasihat ataupun apa yang dinasihatkannya. Belajar bagaimana menyaring nasihat, kita pakai yang benar, lupakan yang tidak tepat. Belajar, bagaimana agar nasihat yang baik dari orang lain dapat menghujam kesadaran kita, lalu menjadi penggerak untuk berbuat lebih baik. []