SEORANG muslim memang harus selalu berlomba-lomba melakukan amalan shaleh dalam kehidupannya. Tentu amalan yang hendak dilakukan harus berniat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukan semata-mata ingin dipuji oleh manusia. Karena bila hal ini terjadi akan menjadi sia-sia amalan yang kita kerjakan.
Sebenarnya, lebih baik amalan diketahui orang lain atau tidak? Ketika melakukan amalan dan berniat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, lebih baik tidak diketahui oleh orang lain. Pasalnya dikhawatirkan akan menimbulkan rasa yang tidak diinginkan didalam hati orang tersebut. Misalnya perasaan ingin dipuji atau lain sebagainya.
Dari Ibrahim bin Isa dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Jadilah kalian sumber-sumber ilmu, pelita petunjuk, penerang malam hari, hati yang baru (bagus), dan pakaian usang (tak mencolok). kalian dikenali para penghuni langit, namun kalian tidak dikenal para penghuni bumi.” ( Shifatush Shofwah, I / 415 ).
Salah satu kisah yang bisa kita jadikan pelajaran adalah Ibnul Mubarak. Seorang yang tak suka mengekspos amalan perbuatannya karena ketika amal shalih secara vulgar dipamerkan akan bisa merusak keikhlasan. Suatu saat, dia melunasi hutang seorang pemuda senilai sepuluh ribu dirham, tanpa diketahui si pemilik hutang.
Abduh bin Sulaiman Al- Hawarzy berkata, “Kami bersama Abdullah bin Al-Mubarak dalam suatu detasemen pasukan wilayah Romawi, kemudian kami berhadapan dengan musuh, ketika kedua pasukan berhadap-hadapan ada seorang dari pihak musuh yang maju ke depan, menantang duel satu lawan satu. Setiap orang yang melawannya dapat dibunuhnya, kemudian ada seorang dari pasukan muslimin yang keluar menghadapinya dan berhasil membunuh prajurit yang tadinya tangguh itu. Maka orang-orang berhamburan menghampiri prajurit dari muslimin yang dapat membunuh prajurit musuh yang tangguh itu yang ternyata dia menutupi mukanya dengan kain lengannya. Aku termasuk orang yang ikut berkerumun. Setelah kain lengannya dapat kusingkap ternyata dia adalah Abdullah bin Al-Mubarak. Maka dia berkata kepadaku, “Engkau wahai Abu Amr adalah orang yang telah membuka aibku,” (Tarikh Baghdad, 10 / 167).
Dua kisah tersebut, merupakan satu dari sekian banyak bukti bahwa menyembunyikan amalan dihadapan manusia adalah pilihan cerdas. Kenapa cerdas? Pasalnya hal ini sama halnya seseorang menghindari diri dari sifat riya atau menjauhi mendapat pujian dari manusia. Melakukan amalan harus menjadi sebuah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya.
Terkadang kita sering melihat orang yang sepertinya biasa-biasa saja dalam beribadah, atau secara dhahir amalan shalatnya, atau membaca Al-Qur’annya nyaris sama dengan orang lain. Namun dibalik itu, sejatinya dia di saat sendiri begitu bersemangat beramal shalih. Faktor keikhlasan dan niat yang harusnya keridhaan Allah yang dicari, terkadang dalam praktiknya sering ternodai oleh hawa nafsu seperti demi harta, tahta atau agar dijuluki orang ‘alim. Oleh karena itu, perlu adanya hubungan antara hati dan perbuatan.
Namun, bagaimana kalau amalan kita ingin memotivasi orang lain agar melakukan amalan seperti yang kita lakukan? Apa itu salah? Sebenarnya dalam melakukan amalan itu tergantung pada niat seseorang. Jika ingin memotivasi orang lain maka kembali lagi untuk meluruskan niat bahwa melakukan amalan itu hanya mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allahu a’lam.
Sebagai hamba Allah tentunya kita ingin yang terbaik dalam beramal. Amal shaleh atau ibadah yang termasuk syiar Islam, maka itu perlu ditampakkan. Contohnya, shalat berjama’ah di masjid bagi kaum laki-laki, shalat ied, menyembelih hewan kurban dan ibadah lainnya yang memang terdapat dalil perlu dilakukan terang-terangan. Dan kunci sukses agar amal tak sia-sia, tak lain adalah ikhlas ketika sendirian, lebih-lebih ketika dihadapan manusia. []
SatuMedia