NABI Musa berdoa yang tercantum dalam Surah Thaha (20) ayat 27:
وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ
dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku
Para ulama bersilang pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kekakuan dalam lisan Nabi Musa ini yaitu sebagai berikut:
Pertama, Nabi Musa memang mengalami kesulitan berbicara sejak lahir.
Kedua, sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa suatu ketika Musa pernah digendong oleh Fir’aun. Ketika dalam gendongannya, Musa pun memukul dan menarik jenggotnya.
BACA JUGA: Nabi Musa dan Seseorang yang Beliau Tak Sabar Terhadapnya
Fir’aun lantas marah dan berkata pada istrinya, “Wahai istriku, lihatlah tingkah anak ini! Kecilnya saja sudah seperti ini. Kalau sudah dewasa pasti akan membunuhku!” Asiah pun menjawab, “Wahai Fir’aun, dia hanya anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Ujilah ia jika kamu tidak percaya.”
Fir’aun pun benar-benar menguji ketidakmengertian Musa saat itu dengan menyodorkan batu permata dan bara api padanya. Musa kecil pun lebih tertarik pada nyala bara api, Ialu mengambilnya dan memakannya sehingga terbakarlah lidah beliau. Melihat itu, Fir’aun pun kembali tenang dan percaya bahwa Musa memang layaknya anak kecil seusianya yang belum mengerti apa-apa.
Riwayat ini sangatlah populer, tetapi ia tidak pernah diriwayatkan secara marfu dari Rasulullah ﷺ dan kemungkinan besar sumber kisah ini adalah kabar Israiliyyat. Kesahihan kisah di atas juga patut diragukan karena tidak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Quran keterangan bahwa beliau adalah seorang yang gagap dalam berbicara.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa kekakuan berbicara itu disebabkan oleh ketakutannya menghadapi Fir’aun. Sebagaimana orang pada umumnya takut tatkala bertemu dengan orang berkedudukan, terkadang bicaranya menjadi terbata-bata lantaran rasa grogi atau takut.
Apakah kekakuan tersebut hilang secara sempurna atau hanya hilang sebagian?
Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi Musa hanya meminta agar dihilangkan sebagian kekakuan tersebut, tdak seluruhnya. Karenanya beliau berdoa dengan menyebut bentuk tunggal عُقْدَةً Bukan bentuk jamak uqadan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Katsir dan juga Al-Qurthubi.
Oleh karenanya Allah menyebutkan salah satu sindiran Fir’aun kepada Nabi Musa adalah sebagaimana tercantum dalam Surah Az-Zukhruf (43) ayat 52:
اَمْ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ مَهِيْنٌ ەۙ وَّلَا يَكَادُ يُبِيْنُ
Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?
Ini menunjukkan bahwa ketika mendakwahi Fir’aun masih ada kekakuan lisan Nabi Musa yang tersisa yang akhirnya dijadikan bahan ejekan oleh Fir’aun.
BACA JUGA: Kisah Nabi Musa Mendapatkan Istri
Ibnu Katsir menegaskan bahwa Nabi Musa hanya meminta agar sebagian dari kekakuan lisannya dihilangkan sehingga pembicaraan dan ucapan beliau dapat dipahami dengan baik oleh Fir’aun dan kaumnya. Demikianlah kebiasaan para nabi, mereka tidak pernah meminta kepada Allah kecuali apa yang sesuai dengan keperluan mereka.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua agar hendaknya kita tidak meminta sesuatu yang di luar keperluan kita. Sadarilah bahwa semakin banyak kenikmatan yang kita dapatkan maka tanggung jawab dan kewajiban untuk bersyukur akan semakin besar pula. Sementara, kita yang lemah ini belum tentu bisa mensyukuri dan mempertanggungjawabkan semua itu dengan baik. []
SUMBER: TAFSIR AT-TAYSIR