PADA buku terbarunya Atep Kurnia, Jejak-Jejak Bandung (2020), mengungkapkan jejak penerbitan di Bandung, pasca- kemerdekaan ternyata ada Majalah Islam berbahasa Sunda bernama Al-Muslih , majalah terbit secara tengah bulanan diterbitkan oleh Persatuan Alim Ulama Islam Indonesia Bandung.
Majalah tersebut di pimpin oleh KH Sja’roni dan jajaran redaksinya Habib Utsman, U. Baluqiya, A. Taufiq, dan M.E. Nurdjamil. Alamat redaksi majalah tersebut di Jalan Pasar Baru 173, Bandung.
BACA JUGA: Perginya Natsir, Sang Khadimul Ummah
Sebagaimana informasi Atep Kurnia, pada edisi no. 1 Th II, 1 September 1953, majalah Al-Mushlih menambahkan rubrik “Ngawalungkeun”, rubrik yang menampilkan riwayat hidup pemimpin Islam lintas golongan dan partai. Pada rubrik tersebut perdana kali menangkat Profil Muhammad Natsir, ketua Umum Masyumi, berdasarkan tulisan Tamar Djaja.
Majalah Al-Muslih berbahasa Sunda terbit di Bandung, mengingatkan saya bagaimana Natsir ketika sekolah dan berjuang di Bandung dan menikmati Bandung kala itu, dan bertemu teman hidupnya.
Muhammad Natsir sendiri, lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat. 17 Juli 1908, setamat pendidikannya di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Padang kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda, di MULO Natsir sekelas dengan keturunan Belanda, karena ketekunan dan prestasi yang memuaskan, Natsir mendapatkan beasiswa kembali dari pemerintah Belanda dan melanjutkannya ke AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dengan mengambil fokus studi Sastra Barat Klasik.
Natsir (2008) menuliskan kenangan ketika ia sekolah di Bandung, dan berpelesiran menikmati Bandung saat mengirim surat kepada anak-anaknya,
Aba tinggal di Bandung, di Cihapit dirumah Etek Latifah, tak beberapa jauh dari sekolah AMS (AII). AMS Afd: A adalah satu-satunya sekolah menengah diwaktu itu, yang memberi pelajaran bahasa Latin dan kebudayaan Yunani. Bulan Juli 1927 (Aba sudah berumur 19 tahun) mulailah Aba belajar disekolah yang “istemewa” itu.
Kesan aba yang pertama ialah, bahwa bahasa Belanda Aba tidak fasih. Tidak selancar bahasa Belanda teman-teman sekelas yang berasal dari pulau Jawa. Kalau membuat karangan bolehlah, tapi untuk berbicara amat sukar seperti orang lain itu. Kesan kedua ialah bahasa Latin adalah mata pelajaran yang pokok.
Dan berat benar rasanya. Tiga bulan yang pertama Aba tekun mempelajarinya. Pukul tiga sore sudah Aba mulai dengan Latin sampai 4.30 sore. Sesudah itu baru pelajaran yang lain-lain sampai pukil 8.30 malam.
Natsir selalu berpelesiran di Bandung setiap Sabtu, ia mengingat momen itu, “Petang Sabtunya! Aba mandi memakai baju bersetrika, pantolan panjang dan jas tutup. Pergi berjalan kaki dari Cihapit ke lokasi. Disana makan sate Madura, di Kedai Madrawi depan kantor polisi.
BACA JUGA: Selintas Pandangan Hidup Natsir
Sesudah berkeliling sebentar di Pasar Baru pulang pula berjalan kaki, lewat hotel Homan. Di Depan Hotel Homan itu Aba berdiri orkes hotel Homan yang tetap bermain tiap petang Sabtu. Mendengar itu rindu pula Aba ke biola Aba kembali tetapi biola Aba kesampingkan, oleh karena kuatir pelajaran akan terganggu”
Natsir muda bila tidak sedang belajar dan membaca, kadang ia pergi ke bioskop atau pasar malam tahunan, Jaarbeurs.
Sulhan Syafii& Ully Rangkuti (2014),Kedai Sate yang dikunjungi Natsir tersebut juga sering dikunjungi oleh Soekarno semasih sekolah di Bandung, selain Soekarno dan Natsir tokoh-tokoh seperti Ali sastroamidjojo dan Ruslan Abdulghani, dan bahkan Sate Madrawi ini menjadi menu makan untuk Konferensi Asia-Afrika.
Di Bandung inilah Natsir terkenang, dan Bandung tidak melupakan Natsir, dengan ditampilkan riwayat hidup Natsir di Majalah al-Muslih. []