Oleh: Ririn Umi Hanif
Pemerhati Ibu dan Anak, Gresik
hantikaumi@gmail.com
ISTILAH “pelakor” atau pencuri laki orang, kembali ramai dibicarakan penduduk dunia maya. Hal ini berawal dari unggahan video seorang ibu yang merasa kecewa akibat suaminya menjalin hubungan dengan wanita lain, yang ternyata adalah teman si ibu sendiri. Share berantai menyebabkan berita ini langsung “hits” dalam hitungan hari. Bahkan ada media cetak yang langsung menanggapi dengan mengisahkan kehidupan masa lalu sang ibu, yang konon katanya “pelakor” juga.
Sebenarnya, kasus “pelakor”, tidak kali ini saja menghebohkan jagad maya. Sebelumnya, kasus pelakor yang melibatkan oknum dokter, juga menguras habis energi kaum hawa untuk ikut mencurahkan perasaannya. Kasus ini terus berulang, Seakan “pelakor” telah menjadi salah satu teror kehidupan. Berbagai komentar mewarnai beranda, bahkan ada yang langsung mengkambinghitamkan ajara islam. Mereka beranggapan, kasus pelakor dijiwai dari kebolehan islam untuk para suami beristri lebih dari satu.
Benarkah islam memerintahkan umatnya untuk menjadi pelakor atau paling tidak memperbolehkan seseorang menjadi pelakor? Sebelum kita tergesa-gesa menyimpulkan, ada baiknya kita menelaah islam tidak hanya parsial. Kita harus melihat aturan islam secara keseluruhan.
Islam memandang bahwa hubungan pria dan wanita itu tidak hanya hubungan dalam menyalurkan naluri seksual saja tetapi hubungan pria-wanita didalam islam itu adalah untuk melanjutkan keturunan sebagaimana tertuang dalam al Quran surat An-nissa:1
Artinya; “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam) dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” ( Qs.An-nissa ayat 1).
Pandangan islam berikutnya yaitu adanya aturan yang melarang aktivitas yang dapat menimbulkan gharizah nau yang tidak sesuai dengan hukum syara. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT: Artinya: “ Dan janganlah kamu mendekati zina;sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al-israa:32)
Islam telah menetapkan bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita baik dalam kehidupan umum maupun khusus.
Pertama, kehidupan umum. Yaitu tempat dimana seseorang tidak perlu meminta ijin untuk memasukinya, seperti pasar, masjid, kampus, rumah sakit, kendaraan umum, dan lain-lainya. Namun demikian, Allah SWT telah memberikan ketetapan yang membolehkan wanita melakukan beberapa urusan dalam kehidupan umum dan melakukan interaksi diantara keduanya dengan terikat pada hukum-hukum syariat. Misalnya, seorang pria boleh bercampur baur dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita yang berada di sampingnya, kecuali apabila ada keperluan. Jika masih bisa dihindari adanya campur baur, akan lebih utama jika tidak campu baur. Misalnya, laki-laki memilih tempat duduk yang diisi oleh laki-laki. Atau, negara dapat memberlakukan pemisahan tempat duduk bagi laki-laki dan wanita di kendaraan umum.
Yang kedua adalah Kehidupan khusus. Yaitu mengharuskan adanya ijin yang diberikan oleh sang pemilik untuk memasukinya seperti : rumah, mobil pribadi dan tempat lainnya yang memerlukan ijin.
Adapun diperbolehkannya interaksi antara pria dan wanita haruslah sesuai dengan standard hukum syara diantaranya: Wajib menutup aurat dan memakai pakaian yang sempurna, Menundukan pandangan, Menghindari perkara syubhat, Dilarang bertabbaruj, Dilarang berkhalwat, Dilarangnya wanita berpergian tanpa ijin suami, Dilarangnya wanita melakukan shafar lebih dari 1 hari tanpa adanya mahram, Dilarang melakukan hal- hal yang membahayakan akhlaq, Dilarang mencemarkan nama baik wanita sholehah.
Namun, karena saat ini hukum islam hanya menjadi ilmu pengetahuan yang tidak diterapkan, maka banyak hal yang kemudian terjadi. Pergaulan tidak terjaga antar lelaki dan perempuan, semua boleh asal suka sama suka. Adapun kebolehan poligami sangat berbeda prakteknya dengan pelakor. Dalam poligami, status pria dan wanita semua jelas. Hak dan kewajiban masing – masing nya juga jelas.
Dan bagi para wanita, ketakutan tidak mendapatkan kasih sayang dan nafkah lagi, juga dapat dihindari. Karena dalam sistem islam, suami yang berpoligami paham benar tanggungjawabnya jika memilih melakukannya. Sakinah, mawaddah wa rohmah, tetap berusaha digapai baik dalam pernikahan pertama maupun seterusnya. Jikalaupun si lelaki khilaf, maka ada peran masyarakat mengingatkannya. Wallahu a’lam bi ash showab. []