Oleh: Ririn Handayani
BAGI sebagian wanita yang bekerja, menitipkan anak pada pembantu (pengasuh) seringkali menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar. Beragam perasaan kerap berkecamuk, mulai sedih, khawatir, takut dan sebagainya, kala pilihan itu harus diambil. Inilah share beberapa teman yang menarik perhatian saya beberapa waktu lalu.
Sedih adalah perasaan pertama yang umumnya para ibu rasakan ketika anak harus ”berpindah pengasuhan” sementara waktu pada orang lain. Tak jarang ibu menangis sejak langkah pertama meninggalkan rumah bahkan hingga sampai di tempat kerja.
Perasaan berikutnya yang juga kerap menghinggapi adalah perasaan takut dan khawatir karena pada umumnya para pembantu atau pengasuh tersebut adalah orang asing yang tidak dikenal sebelumnya. Keamanan, kasih sayang dan pendidikan seringkali menjadi tiga masalah utama yang menjadi sumber kekhawatiran ibu.
BACA JUGA: Kamar Dagang Tiongkok Salut Dengan Anak Yatim yang Sejak Kecil Dilatih Puasa
Kadang muncul perasaan takut akan ada apa-apa pada anak saat ibu tidak di rumah seperti dibentak, dimarahi atau bahkan dipukul jika mereka berulah atau melakukan kesalahan. Bukan tidak mungkin akan sekali tersirat juga di benak ibu tentang penculikan yang cukup santer disorot media dalam beberapa waktu terakhir.
Tak adanya hubungan kekerabatan juga kadang memunculkan kekhawatiran pembantu hanya akan ala kadarnya saja menyayangi dan mengasuh anak kita, sebatas formalitas atau bergantung pada besarnya gaji yang mereka terima.
Masalah pendidikan juga sering membuat para ibu khawatir. Para pengasuh yang pada umumnya berpendidikan rendah dikhawatirkan akan ”menurunkan”, ”menularkan” atau ”mengajarkan” ilmunya pada anak-anak kita.
Kekhawatiran yang sangat beralasan dan sangat mungkin terjadi karena kadang secara kuantitas mereka lebih banyak bersama anak-anak kita di waktu-waktu berkualitas anak yakni dari pagi hingga siang atau sore, saat di mana anak lebih banyak bermain dan ”belajar”. Sedangkan di malam hari di mana para ibu umumnya di rumah, anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk beristirahat.
Perasaan lain yang juga kerap muncul adalah perasaan ”cemburu” jika anak nantinya menjadi lebih dekat dengan pembantu daripada ibunya sendiri. Terlebih jika sejak usia sangat dini, antara 2-3 bulan, mereka sudah diasuh pembantu.
Seorang teman saya yang bekerja lima hari dalam seminggu dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore, merasa menjadi ibu nomor dua saat anaknya demam ketika ditinggal mudik oleh pembantunya. Berbagai obat dan pengobatan sudah diberikan namun demam sang anak tak juga mengalami perubahan berarti. Demam itu ”sembuh” ketika si anak kembali pada pangkuan sang pengasuh.
Sementara teman saya yang guru merasa prihatin atas sikap anaknya ketika diajak belajar. Si anak nyaris tak merespon ketika si ibu menawarkan buku anak-anak yang umumnya atraktif dan menarik perhatian si kecil. Sebaliknya, si anak begitu antusias dan mudah akrab dengan peralatan dapur dan aktivitasnya seperti mencuci piring, menyapu, mengepel lantai dan sebagainya.
Teman saya yang lain merasa sedih sekaligus malu dalam sebuah acara keluarga ketika si anak yang tiba-tiba ketakutan dan menjerit entah karena apa, spontan memanggil dan memeluk pembantu padahal si ibu berada lebih dekat dengan sang anak saat accident terjadi. Spontan hampir semua orang di acara tersebut tercengang, entah apa yang mereka pikirkan.
Saya bisa bayangkan bagaimana perasaan teman saya kala itu. Keadaan yang lebih ekstrem juga pernah saya temui di mana si anak menganggap dan memanggil si pembantu dengan sebutan ”ibu” dan justru merasa asing dengan ibunya sendiri.
BACA JUGA: Hak Seorang Ibu dari Anak Laki-lakinya
Cerita-cerita di atas mungkin hanya sebagian dari nilai minus jika anak terpaksa diasuh pembantu. Saya yakin, sebagaimana beberapa teman telah mengalaminya sendiri, pasti ada solusi atau langkah-langkah antisipasi untuk menghindari atau mereduksi berbagai kekhawatiran dan masalah di atas. Seperti yang dilakukan seorang teman dengan sesekali mengaktifkan telpon di rumah tanpa sepengetahuan si pembantu untuk mengetahui secara pasti apa yang terjadi dengan si buah hati saat ia di kantor.
Tak kita pungkiri, pasti ada nilai plus dan manfaat yang bisa diperoleh dalam burden sharing pengasuhan anak oleh pengasuh. Hal yang paling umum dikemukakan teman-teman adalah melatih anak lebih mandiri. Manfaat lainnya adalah memberi si ibu kesempatan untuk memiliki waktu bagi dirinya sendiri, anggota keluarga yang lain ataupun beraktualisasi. []