SANG Menteri Penerangan RI itu sedang membereskan barang-barangnya di rumah tumpangannya di daerah Tanah Abang, Jakarta. Ia harus pergi dari rumah sahabatnya di Partai Masyumi, Prawoto Mangkusasmito. Usianya hampir menginjak kepala empat, dan sang Menteri yang tadinya mengontrak rumah, lalu menumpang rumah, sekarang harus ikut Presiden ke Yogyakarta karena Jakarta mulai tak aman.
Barang-barang seadanya dibereskan. Tahun itu, 1946, sang Sultan Jogja memberikan wilayahnya agar dapat digunakan Pemerintah RI. Mohammad Natsir, menteri yang ‘gemar’ mengontrak rumah itu harus pergi meninggalkan keluarganya. Pergilah ia ke Yogyakarta. Di sana, ia menumpang di Paviliun Haji Agus Salim yang juga dipinjamkan oleh Raja Yogyakarta.
Salah seorang peneliti tentang gerakan Islam dari Cornell University, Mc. T Cahin bilang, kalau Pak Natsir sebenarnya tak ada tampang seperti Menteri. Jasnya bertambal, bajunya hanya ada dua stel dan sudah butut. Sampai dikisahkan Haji Agus Salim kalau stafnya Pak Natsir patungan uang membelikan baju bagi Pak Menteri Penerangan. Kelak, saat memimpin Dewan Dakwah, kejadian Pak Natsir dibelikan baju terulang.
Episode Mengontrak rumah dan menumpang rumah Pak Natsir berakhir, ketika Pemerintah memberikan Rumah di dalam gang di Jalan Jawa, Jakarta. ‘Rumah untuk Menteri Penerangan’. Akhirnya sang Menteri kini punya rumah, walau tanpa perabot. Puterinya, Sitti Muchliesah bilang, “kami mengisi rumah dengan perabot bekas.” (Majalah Tempo Edisi Mohammad Natsi: Politik Santun Mohammad Natsir)
Di dalam gang sempit, sang Menteri itu tinggal. Di sana, ia gemar menggunakan sepeda ontelnya untuk bepergian. Hingga tahun 1950, setelah Natsir melancarkan Mosi Integral, ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri, sebuah jabatan tertinggi di Indonesia saat itu yang menggunakan sistem presidensial. Menjadi orang nomor wahid di Bumi Pertiwi tak membuat Natsir menjadi glamor. Tak ada alphard, tangan super mahal, atau jadi sulit ditemui warga.
Pak Natsir dipaksa pindah karena dinilai rumahnya yang sempit dan kusam di Jalan Jawa tak pantas buat orang sekelas Perdana Menteri. Akhirnya ia pindah ke rumah dinas di Jl. Proklamasi (tempat Soekarno tinggal). Di sana pun, ia tak pernah menggunakan fasilitas Negara untuk keperluan pribadi dan keluarga, apalagi pelesiran ke luar negeri. Anak Perdana Menteri itu tetap naik sepeda tuanya untuk sekolaj. Istrinya tetap menghidangkannya makanan.
Syahdan, seorang sahabat Natsir, Khusni Muis yang pernah jadi Ketua Muhammadiyah datang ke Jakarta untuk urusan Partai (saat itu Muhammadiyah menjadi bagian dari Masyumi). Usai pertemuan, Khusni yang datang jauh dari Kalimantan itu ingin meminjam uang Pak Perdana Menteri untuk ongkos pulang. “Maaf, saya tidak ada uang karena belum gajian,” kata Natsir. Akhirnya Natsir pun meminjam uang dari kas Majalah Alhikmah (Masyumi) yang ia pimpin. (Tempo, Politik Santun di antara Dua Rezim)
Bisa dibayangkan kalau sekarang orang nomor wahid, seorang Presiden RI nggakpunya uang. Menteri-menterinya ngutang. Anggota-anggota Dewan sekarang, jangankan untuk pesan spanduk mukanya untuk ditempel di tiang dan pohon, memegang uang saja tidak. Tak hanya ngutang, Pak Natsir pun pernah mengurus urusan tikar dan bedug.
Seorang warga tiba-tiba datang ke kantor PM Natsir mengadukan masalah tikar yang rusak dan bedug yang pecah di Mesjid Kramat Sentiong. Sekretaris PM, bilang,” Buat apa soal-soal begitu kamu bawa-bawa ke Perdana Menteri?”.
“Tapi Pak Natsir mau menerima dan mau menyelesaikan masalah itu,” kata warga.
“Perdana Menteri ngurusin bedug?” itu kan soal kecil,” kata Sekretaris.
Pak Natsir yang juga ada di sana akhirnya menjawab,” Bagi kita, tak ada soal besar atau soal kecil. Bedug pecah, itu mungkin soal kecil bagi kita, tapi bagi orang kampung, itu soal besar!” katanya. Akhirnya Pak Natsir pun mengurusi masalah bedug dan tikar, dan segera menyelesaikannya.
Saat Pak Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada tahun 1951, Ibu Maria Ulfa bilang kalau ada dana taktis sisa untuk hak Perdana Menteri. Dengan senyum Natsir hanya menggelengkan kepala. “Berikan ke koperasi karyawan,” katanya, dan akhirnya dalam kantong Natsir tak mampir sepeser pun uang haknya.
Setelah itu, Pak Natsir menyupir mobil dinas ke Istana Presiden, memarkirkan mobil di sana, dan bersiap pulang ke rumahnya di dalam lorong Jakarta, Jalan Jawa. Ia pun berboncengan sepeda ontel dengan supirnya, pulang ke rumah, lepas sudah bebanya sebagai Perdana Menteri.
Hari-hari berikutnya, saat Pak Natsir dipenjara, rumah dan hartanya disita. Ia tak punya apa-apa. Sang mantan Perdana Menteri, Mantan Ketua Partai Masyumi ini mengisi hari-harinya seperti laiknya gurunya Haji Agus Salim, dengan pola hidup ‘nomaden’. Dari satu kontrakkan ke kontrakkan lain, ia lalui dalam usia senjanya.
Menyusuri jalanan becek dari satu rumah ke rumah lain, hingga kawannya merasa kasihan, menjual rumahnya dengan ‘harga teman’. Natsir pun tak menyanggupinya karena tak punya uang. Karena kebaikan sahabatnya, ia pun diberi kesempatan untuk menyicil dalam beberapa tahun. Walhasil, sang mantan Perdana Menteri ini mengais pinjaman untuk Rumah di Jalan Blora pada kawan-kawannya.
Dalam akhir hayatnya, ia tetap sederhana.
Ruang kesederhanaan yang mengisi para pemimpin negeri, mengisi nurani rakyat. Ketika Menteri Keuangan tak Punya Uang. Ketika Menteri Mengontrak Rumah. Ketika Wapres tak Mampu membeli sepatu. Ketika orang nomor satu ini pun mengikuti jejak-jejak mereka, orang-orang besar. Semoga kelak, muncul kembali sosok-sosok mereka di negeri ini. []