HARI itu, langit Madinah sangat cerah. Para penduduknya tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri. Maklum, kaum Yahudi sudah diusir karena perbuatan mereka yang melampui batas dalam usaha menghancurkan ketentraman dan kesejahteraan hidup masyarakat Madinah yang terdiri atas bermacam-macam suku dan agama yang berbeda.
Tapi sesungguhnya keadaan Madinah belum aman betul. Masalahnya, Abdullah bin Ubay, pemimpin orang-orang munafik yang senantiasa menggunakan kesempatan dalam kesempitan, serta tidak pernah benar-benar mengamalkan ajaran Rasulullah dengan sepenuh hati, masih ada.
Beberapa lama kemudian dikabarkan bahwa Abdullah bin Ubay sakit keras. Abdullah, putra Abdullah bin Ubay yang sudah masuk Islam tetap melayani ayahnya walaupun lelaki yang menyebabkan kelahirannya itu seorang munafik yang jahat. Abdullah merawat ayahnya dengan cermat dan penuh kasih sayang.
BACA JUGA: Barisan Mukmin atau Barisan Munafik
Tapi, walau begitu tetap saja hati Abdullah terasa gundah. Ia merasa sangat berat setiap melihat ayahnya dengan nafasnya yang semakin sesak.
Pertanda ajalnya kian mendekat. Ingin sekali ia memberi tahu Rasulullah tentang sakit ayahnya ini dan memohon kepada manusia agung penuh pesona itu agar Rasulullah bersedia menjenguk ayahnya sebelum benar-benar meninggal dunia. Abdullah melihat bahwa sepertinya ayahnya itu sangat ketakutan menghadapi kematiannya; membayangkan siksaan neraka yang mengancamnya. Abdullah tahu persis, ketika dalam kondisi yang segar-bugar dahulu, Abdullah bin Ubay melakukan banyak makar jahat terhadap Islam.
Akhirnya, selaku anak yang taat, ia pun datang menghadap Rasulullah dan mengutarakan maksudnya. Walau bagaimana pun Abdullah ingin ayahnya sadar dan bergabung bersama dirinya dalam ikatan Islam.
Waktu itu, kebetulan Umar bin Khattab tengah menemani Rasulullah. Ketika mendengar apa yang diutarakan oleh Abdullah itu, wajah Umar seketika berubah masam. Padahal Rasulullah sendiri hanya tersenyum lembut mendengar permintaan Abdullah.
Umar, sambil mengernyitkan jidat, melarang Rasulullah agar tidak meluluskan permintaan gembong kaum munafik itu. Alasannya jelas, Abdullah bin Ubay telah banyak merugikan kepentingan kaum muslimin, dan bukan sekali dua kali mengkhianati Rasulullah. Fitnah-fitnah keji yang dilancarkannya pun sering sekali benar-benar menjatuhkan nama Rasulullah. Yang paling hebat adalah ketika adanya desas-desus yang disebarkan oleh Abdullah bin Ubay hanya selang beberapa waktu sebelum sakitnya. Hampir saja terjadi pertumpahan darah di antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor akibat ulahnya itu. Belum lagi larinya sebagian pasukan Perang Uhud yang dipimpin oleh Abdulllah bin Ubay dan mengakibatkan hampir hancurnya pasukann tentara Islam dalam peperangan itu.
Sambil memakai jubahnya, Rasulullah berkata kepada Umar, “Aku menghargai permintaannya, hai Sahabatku.”
Umar tidak bisa berkata apa-apa lagi tapi ia tetap juga mengiringi Rasulullah dari belakang menuju kediaman Abdullah bin Ubay.
Setiba di sana, Umar makin mendongkol. Pasalnya, ternyata si munafik itu bisa merengek-rengek kepada Rasulullah minta dikasihani. Abdullah bin Ubay memohon agar Rasulullah melepaskan jubahnya itu untuk menyelimuti badannya yang tengah menggeliat-geliat menahan sakit. Tampaknya, Abdullah bin Ubay ingin mati dengan berselimutkan jubah Rasulullah.
Wajah Umar berubah kecut, menahan amarah yang sangat. Terdengar giginya menggeretak dan tangannya mengepal. Sekali ini, dengan wajah keras dan merah ia memberi isyarat kepada Rasulullah agar tidak menuruti apa yang diminta oleh salah satu musuh besarnya itu.
Namun, apa tindakan Rasulullah? Rasulullah sadar, ia adalah pemimpin bagi semua orang, semua manusia, bahkan rasul untuk jin dan sebangsanya. Ia adalah rahmat buat alam semesta. Bagaimana jadinya jika seandainya ia tidak memberikan teladan yang baik dalam tingkah lakunya? Maka, seketika itu juga, Rasulullah segera melepas jubahnya, dan tanpa terlihat rasa benci sedikitpun, ia menyelimutkannya pada tubuh Abdullah bin Ubay yang sekarang semakin menggigil keiinginan. Sesaat setelah jubah itu menyelimuti tubuhnya, nafas yang terakhir Abdullah bin Ubay terlepas. Ia mati. Terkabullah keinginan pemuka kaum munafik itu mati dengan berselimut jubah Rasulullah yang suci. Rasulullah memandangi saja.
Sementara Abdullah tertunduk, dan beberapa bulir air mata tampak membasah di wajahnya.
Sedangkan Umar terlihat masih kecewa. Lelaki yang berjuluk Singa Padang Pasir itu berujar, “Ya, Rasulullah, engkau ini bagaimana? Bukankah Abdullah bin Ubay itu musuhmu?”
Rasulullah berpaling kepada Umar. Seulas senyum terhias di wajahnya. “Bukan, Umar. Dia lah yang memusuhiku,” jawabnya.
“Rasulullah, semasa hidupnya dia tidak pernah sedikitpun menghentikan usaha culasnya untuk membinasakan dan menghancurkan ajaran kita. Dia juga tidak pernah berhenti mengacau masyarakat Madinah yang rukun dan damai. Ia adalah dedengkot kaum munafik!”
BACA JUGA: Muslim yang Munafik
“Betul sekali katamu Umar,” tukas Rasulullah dengan masih tetap tenang.
Umar mencibir ke arah mayat Abdullah bin Ubay yang mulai membiru, “Alangkah beruntungnya dia kalau begitu bisa mati dengan berselimutkan jubahmu. Padahal kami para sahabatmu, belum tentu akan memperoleh kesempatan dan nasib sebaik dia.”
Rasulullah sadar, bahwa Umar tidak bisa menyembunyikan kebenciannya kepada Abdullah bin Ubay itu. Maka dengan bijak ia berkata, “Umar, jangan sempitkan pikiranmu. Apakah aku tidak boleh membuatnya senang barang sebentar sebelum ia mengalami azab berkepanjangan di neraka sana? Abdullah bin Ubay tidak akan selamat dari siksa Allah hanya karena mengenakan jubahku ketika ajalnya. Sebabku jubahku tidak akan menyelamatkan siapa-siapa. Manusia hanya akan selamat oleh iman dan amal salehnya sendiri.”
Setelah perkataan Rasulllah tersebut, barulah Umar tampaknya sedikit mengerti dan kemarahannya mulai mereda. Di sisi lain, karena peristiwa itu, Umar semakin mengagumi kepribadian orang yang selalu dibelanya. Betapa Muhammad bin Abdullah selalu saja menjadi terdepan dalam memberikan sikap dan perhatian, bukan hanya sekadar dalam ucapan-ucapannya saja. []