Oleh: Hastinia Apriasari
Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
hastinia126@gmail.com
SERINGKALI dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar percakapan:
“Wah, aku lagi stress nih, keluargaku lagi ada masalah”
“Kerja lembur tiap hari, lama-lama aku bisa stress”
“Aku stress, tugas kuliahku banyak banget.”
Pertanyaannya, kenapa stres bisa muncul?
Dalam pengertian umum, stres adalah suatu tekanan atau sesuatu yang terasa menekan dalam diri individu. Hal ini dapat terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan yang dinginkan oleh individu, baik keinginan yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah (Sukadiyanto, 2010).
BACA JUGA: Stres Psikologi, Mendesain Kematian?
Hal ini sejalan dengan pendapat McGrath dalam Weinberg dan Gould (2003), bahwa stres akan muncul pada individu bila ada ketidakseimbangan atau kegagalan individu dalam memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Life Events Inventory (LEI) dalam Spurgeon et al. (2001) menemukan bahwa ada sepuluh peristiwa kehidupan yang paling penting dan bisa memicu terjadinya stres, yaitu kematian pasangan, perceraian, kehilangan anggota keluarga, terpenjara, masalah keuangan, pertengkaran dalam keluarga, tunawisma, pengangguran, anggota keluarga yang tiba-tiba mencoba bunuh diri, dan anggota keluaga yang menderita sakit serius.
Maka, stres yang terus menerus dan tidak teratasi dengan baik dapat memicu gangguan kesehatan mental seseorang.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh tiap individu ketika menghadapi stress. Metode penangana stress ini disebut coping (penanggulangan). Lazarus dan Folkman dalam Gaol (2016) membagi dua metode coping ketika menghadapi stres, yang pertama yaitu, problem focused coping (penanggulangan berfokus pada masalah) dan yang kedua yaitu, emotion-focused coping (penanggulangan berfokus pada emosi).
Problem-focused coping adalah cara menanggulangi stres dengan berfokus pada permasalahan yang dihadapi. Problem focus coping dilakukan ketika individu masih mampu melakukan sesuatu untuk menanggulangi stres, hal ini dilakukan untuk menghindari atau mengurangi stressdengan cara menghadapi sumber stres atau masalah.
Emotion-focused coping yaitu cara penanggulangan stres dengan melibatkan emosi. Seseorang yang mengalami stres akan melibatkan emosinya dan menggunakan penilaian terhadap sumber-sumber stres yang ada. Coping yang berfokus pada emosi dilakukan karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan (Lazarus dalam Gaol, 2016) terhadap sumber stres. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penanggulangan stres yang berfokus pada masalah adalah berurusan dengan situasi secara langsung. Sedangkan penanggulangan stres yang berfokus pada emosi berurusan dengan diri sendiri.
Berbagai penelitian terkini menyebutkan bahwa proses penanggulangan (coping) terhadap stres tidak hanya mengandalkan problem focused coping maupun emotion focused coping. Peran dimensi spiritualitas seseorang ternyata juga berdampak pada penanggulangan stres seseorang, Pargament (1997) menyebutkan bahwa dimensi spiritualitas mampu membantu seseorang dalam menghadapi stres.
BACA JUGA: Stres dengan Rutinitas? Rihlah Yuk!
Beberapa contoh penelitian yang melibatkan unsur spiritualitas untuk menghadapi stres seperti, terapi taubat dan istighfar yang mampu memberikan pengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan pada mahasiswa (Dian Nugrahati, 2018). Penelitian lain menyebutkan bahwasanya pengamalan zikir yang disertai kekhusyuan mampu menurunkan tingkat stres seseorang (Saragih, 2016).
Proses penanggulangan stres yang melibatkan unsur spiritualitas, seperti melakukan zikir, memperkuat ibadah-ibadah lain. Sebenarnya hal ini telah Allah SWT jelaskan dalam Alquran bahwa siapa pun yang mengingat Allah, maka hatinya akan menjadi tenang,
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka merasa tentram dengan mengingat Allah. Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram” (QS. Ar-Ra’du: 28)
Sebagai seorang muslim pula harus menyadari bahwa segala hal yang ditimpakan kepadanya merupakan bagian dari ujian Allah, hal ini tercantum dalam surat At-Taghabun ayat 11, “Tak ada suatu musibah pun yang menimpa melainkan dengan seizin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan menunjukkan hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Maka, muslim sejati, ketika stres datang, ia tidak hanya berfokus pada penyelesaian masalah tersebut, atau malah melakukan hal-hal yang merugikan diri, seperti menangis terus-menerus, isolasi diri, menyakiti diri dan sebagainya. Namun pada hakikatnya harus selalu melibatkan dan menyerahkan segala sesuatu pada Allah, dengan memperbanyak zikir kepada Allah. []
Referensi:
Dian Nugrahati, Q. U. (2018). Pengaruh Terapi Taubat dan Istighfar Dalam Menurunkan Kecemasan Mahasiswa. Jurnal Intervensi Psikologi, 10(1). doi:10.20885/intervensipsikologi.vol10.iss1.art3
Gaol, N.T. (2016). Teori Stress: Stimulus, Respons, dan Transaksional. Buletin Psikologi, 24(1), 1-11
Pargament, KI. 1997. The psychology of religion and coping: Theory, research, and practice, New York: Guilford Press
Saragih, A. H. (2016). Konsep Sa’adah dalam Perspektif Psikologi Modern dan Islam. Islamia, 41-49.
Sukadiyanto. (2010, Februari). Stress dan Cara Menguranginya. Cakrawala Pendidikan.

OPINI adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.