Oleh: Maryulisman
MERASA diri pede juga karena diburu waktu membuat saya mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, apapun yang saya kira menghalangi laju kendaran motor saya sebisa mungkin harus saya dahului. Entah itu motor, mobil, truk, bahkan tronton yang ada di depan motor saya, sekiranya ada celah di jalur kanannya, maka harus saya dahului.
Beberapa motor, mobil, dan truk bisa saya dahului dengan mudah dalam perjalanan menuju Ciputat dari kediaman saya di Jabon Mekar, Parung. Tepat di depan Pasar Raya Parung ada sebuah tronton di depan saya yang melaju pelan karena kondisi jalan yang padat merayap. Memang saya bisa melewati celah di sebelah kanan tronton. Namun naas sekali, sebelum saya mendahului tronton tersebut, di hadapan saya datang lagi sebuah tronton yang menuju arah Bogor.
Pikiran saya berkecamuk menghadapi situasi yang sangat genting. Bayangkan, jangankan dua tronton berdampingan di jalan tersebut. Dua mobil saja, perlu ekstra hati-hati untuk bisa melajukan motor diantara keduanya.
Dalam kondisi genting tersebut hati saya terus berdebar. Apakah saya berhasil melalui dua tronton tersebut? Lalu apa yang terjadi saat saya menghindari tronton yang melaju sangat pelan dari arah depan?
Brakā¦. Kaca spion saya yang bukan spion original dari Honda Supra X terserempet oleh tronton. Kaca spion saya tersebut ukuran lebih kecil dari spion original Honda Supra X. sengaja saya ganti supaya mudah untuk menyalip kendaraan lain. Sebelum diganti dengan spion yang ukuran nya lebih kecil dari spion original seringkali saya hampir mengenai kendaraan lain ketika ingin medahuluinya.
Karena spion terserempet hingga patah, maka kondisi keseimbangan saya tak terkendali. Saat itu dalam pikiran saya terlintas apakah saya akan terjatuh dan masuk ke kolong tronton sehingga motor dan tubuh saya dengan sadisnya terlindas oleh ban tronton 11 ton?
Allahu akbarā¦ Allah masih melindungi diri saya. Saya dan motor pun tak jatuh. Ketika hilang kesimbangan, kaki kanan saya kuat untuk menahan tubuh dan motor saya. Namun ketika kaki kanan saya menapak di jalan, ban tronton 11 ton yang paling belakang melindas kaki saya. Trontonpun terhenti karena kondisi jalan macet. Dalam kondisi tronton diam di tempat saya berusaha melepaskan kaki yang telindas ban tronton 11 ton. Namun tak bisa.
Saya tengok ke belakang dan memberi kode kepada supir tronton untuk mundur dengan cara melambaikan tangan ke belakang. Namun yang dipahaminya adalah saya memerintahkannya untuk maju. Akhirnya kaki saya terus terlindas oleh ban yang paling belakang hingga memutuskan sandal gunung yang saya pakai tanpa kaos kaki tersebut.
Setelah tronton yang di samping kiri saya melaju pelan begitu pula dengan tronton yang melindas kaki saya, saya langsung melihat kondisi kaki saya yang mengeluarkan darah hingga membasahi sandal. Sayapun segera menormalkan gigi motor saya dan meminggirkan motor ke kiri jalan dengan menggunakan kaki kiri dengan kondisi celana sebelah kiri yang robek sebetis.
Tak ada satupun orang yang peduli dengan kondisi saya saat itu. Termasuk polisi yang sering saya lihat mengatur lalu lintas di Pasar Parung tersebut. Namanya Pak Iman. Tubuhnya tinggi hitam. Saya meminta beliau untuk membawakan kendaraan saya ke puskesmas. Ia tak menanggapi permintaan saya. Dan sayapun tak menghiraukannya hanya jengkel dalam hati. Tega-teganya beliau tak mau membantu saya.
Saya pun terus membawa motor sejauh lebih kurang 25 meter hingga melihat polisi yang lebih muda dari Pak Iman. Tubuhnya kecil dan kulitnya putih. Saya melambaikan tangan ke arah polisi tersebut untuk meminta bantuannya namun iapun tak menghiraukan lambaan tangan saya. Saya terus membawa motor hingga berhadapan dengan polisi tersebut dan menjelaskan kondisi kaki saya yang terlindas tronton.
Alhamdulillah, polisi muda itu membonceng saya hingga ke UGD Puskesmas Parung yang jaraknya dengan tempat terindasnya kaki saya sekitar 100 meter.
Alhasil, ibu jari kaki saya harus dicabut kukunya, dan antara ibu jari kaki dan telenjuk jari kaki haus mendapatkan empat jahitan karena luka robek yang cukup dalam. Perawat yang menangani saya meminta saya untuk menggerakan jari-jari kaki saya. Alhamdulillah masih bisa, berarti tulang telapak kaki saya tidak patah.
Ketika saya menunggu resep obat, supir tronton yang melindas kaki saya datang dan meminta maaf sekaligus membantu biaya pengobatannya. Ternyata, Pak Iman, polisi yang saya kira sangat tega membiarkan saya tadi mengejar supir tronton tersebut.
Kata supir tronton, jika tronton tersebut membawa muatan maka beratnya hingga mencapai 30 Ton. Masya Allah…. []