Oleh: Wisnu Tanggap Prabowo
DALAM hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah pernah menyuruh seorang penyair ulung bernama Hassan bin Tsabit untuk membalas syair orang-orang musyrikin Mekkah. Bahkan beliau berdoa kepada Allah agar Malaikat Jibril membantu Hassan. Para ulama salaf kerap membantah suatu kitab dengan menulis kitab. Hingga hari ini, diskursus semisalnya juga terjadi melalui esai di media.
Sanggah-menyanggah melalui tulisan mendorong lahirnya banyak karya yang akan memperkaya khazanah ilmu. Sedang mengutamakan tindakan fisik dalam menyikapi tulisan adalah tanda lunglainya sebuah peradaban untuk berjalan ke depan.
Untuk menyanggah faham Jahmiyah, ulama besar Ibnu Qoyyim al Jauziyah menulis kitab yang masyhur berjudul Madarijus Salikin, sebuah kitab bernuansa tazkiyatun nafs yang menjadi salah satu rujukan utama para ulama dalam pembahasan penyucian jiwa.
Begitupun dengan kitab masyhur buah karya Ibnu Jauzi, Talbis Iblis. Beliau menulis sekitar 560 tema bernuansa tazkiyatun nafs dimana sebagian besarnya ditujukan sebagai sanggahan bagi segolongan ahli ibadah yang ekstrem dan menyimpang dari Al-Qur’an dan Assunnah.
Ibnu Qudamah, ketika melihat kembali isi kitab al Imam al Ghazali berjudul Ihya Ulumuddin, menemukan banyak hal yang menurut ijtihad-nya perlu untuk diluruskan dan dilengkapi. Akhirnya lahirlah Minhajul Qashidin yang merupakan mukhtasar (ringkasan) sekaligus koreksi atas kitab Imam Ghazali tersebut. Atas upayanya, kitab Minhajul Qashidin menjadi buah karya agung hasil kolaborasi dua ulama besar, Ibnu Qudamah dan Imam al Ghazali.
Para ulama mazhab pun sanggah-menyanggah dengan cara yang ilmiyah, yakni melalui penulisan risalah atau diskusi di majlis ilmu yang dihiasi dengan adab, akhlaq, serta memelihara ukhuwah. Diskursus ulama salaf selalu memegang teguh cara-cara ma’ruf.
Karya fenomenal Ibnu Hajar Asqolani, Fathul Bari, yang berjilid-jilid itu sejatinya juga ditujukan sebagai respon atas karya semisal dari ulama besar lainnya, Badruddin al A’ini. Keduanya juga saling menulis sanjungan. Perdebatan ulama justru membawa manfaat yang besar dengan keilmuan dan akhlak mereka.
Bahkan Al Qur’an al Karim, banyak memaparkan sanggahan terhadap persepsi keliru. Ia juga mengoreksi dan melengkapi kitab-kitab terdahulu. Allâh, Al Alim, Menyanggahnya dengan ilmuNya yang sempurna.
Menyanggah dengan ilmu bagaikan berlomba memaparkan kebenaran. Sedangkan kebenaran itu terang dan semakin cemerlang ia jika dihiasi oleh adab. Kebenaran tidak layak bersifat “underground”, atau “undercover”. Kebenaran patut disampaikan meski terkadang tertunda demi maslahat yang lebih besar bagi umat.
Menyanggah semestinya dengan ilmu dan adab. Tanpa ilmu, ia berpotensi menjadi hoax. Tanpa adab, ia berpotensi mengadu domba. Wallahu A’lam. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.