SUATU hari Umar bin Khaththab bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab adalah seorang sahabat yang berasal dari Bani Najjar, Madinah dan bernama lengkap Abu Al-Mundzir Ubay bin Ka’ab bin Qais Al-Anshari Al-Khazraji. Sebelum memeluk Islam, dia adalah seorang pendeta Yahudi untuk Kota Yatsrib yang mahir membaca dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama Yahudi.
Tak aneh jika tentang diri sahabat yang satu ini, Nabi Muhammad SAW berucap, “Umatku yang paling ahli membaca adalah Ubay bin Ka’ab.”
BACA JUGA: Abdullah bin Abbas Sebut Umar Adalah Benteng Pertahanan para Khalifah
Selepas memeluk Islam, tokoh yang terkenal berpengetahuan luas ini diangkat menjadi seorang pencatat wahyu dan orang pertama yang menuliskan wahyu bagi Rasulullah SAW. Dan terlibat dalam panitia penghimpunan al-Qur’an pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Merasa tidak terima dengan perdamaian yang dikemukakan ‘Umar bin Al-Khaththab. Ubay bin Ka’ab pun mengadukan sang khalifah ke pengadilan yang kala itu dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Umar pun datang ke pengadilan dan tampil sebagai tertuduh. Melihat kedatangan sang khalifah, Zaid segera menyambutnya dan menunjukkan hormatnya kepadanya. Menerima perlakuan demikian, sang khalifah pun berkata, “Zaid, ini adalah ketidakadilanmu yang pertama.”
BACA JUGA: Kepada Umar, Perempuan Ini Mengaku telah Diperkosa oleh Seorang Pemuda
Selepas berkata demikian. Umar bin Khaththab kemudian duduk di samping Ubay bin Ka’ab. Dalam sengketa itu, Ubay tidak memiliki bukti dan Umar menyangkal tuduhan yang ditujukan kepada dirinya. Menurut kebiasaan, si penuduh menghendaki agar si tertuduh mengangkat sumpah. Mengingat kedudukan si tertuduh sebagai Amirul Mukminin, Zaid meminta Ubay untuk meninggalkan haknya atas pengangkatan sumpah terhadap sang khalifah. Menerima perlakuan yang berat sebelah itu dan menguntungkan dirinya, Umar pun merasa jengkel. Lalu, dia berucap kepada Zaid, “Zaid! Jika ‘Umar dan orang lain mana pun tidak kau perlakukan sama, engkau tidak pantas menjabat sebagai hakim!”
Karena sejatinya seorang hakim harus adil dan tidak memandang siapapun yang menjadi tertuduh. []
Sumber: Pesan Indah dari Makkah dan Madinah/ Penulis: Ahmad Rofi Usmani/ Penerbit: Mizan/ Februari, 2008