Oleh: Eneng Susanti
GENAP seminggu wajah mungil itu mengusik ingatanku. Namanya Mardi, bocah pengamen yang kutemui di perempatan jalan. Dia sudah berada di sana saat aku menyantroni ‘kakaknya’ untuk diajak wawancara. Tatapannya adalah tatapan anak kecil biasa, yang manja, yang menyimpan harap, yang penasaran, yang malu dan yang ragu-ragu. Suaranya pelan sekali saat menyebutkan nama. Dan, dia hanya tersenyum malu-malu saat ditanya.
Kemudian, ada seorang anak lagi yang mengahampiri. Tanpa disangka dia mencium tanganku seperti kepada seseorang yang dihormati. Sikapnya menunjukan karakter anak yang tegar. Senyumnya terkembang lebar. Dia tampak ceria. Seolah jalanan bukanlah sebuah kesulitan bagi hidupnya. Namanya Arya.
Sayang, dia hanya sekejap berada di situ. Dia tidak sempat mengorol denganku karena bus berpenumpang penuh yang melaju di perempatan itu seolah memerinya aba-aba start lari cepat berhadiah rupiah. Anak kecil itu berlari secepat kilat. Dia seolah tahu benar bahwa hidup harus diperjuangkan dengan kesungguhan. Demi gemerincing recehan yang mungkin bisa menyuapinya makan, dia tidak menghiraukan laju kendaraan dan angin malam.
Aku menyudahi wawancara malam itu tanpa meninggalkan sepeserpun rupiah bagi mereka. Aku berpegang pada aturan yang diberikan dosen untuk tidak ‘membeli’ atau ‘memberi pelicin’ untuk melakukan tugas wawancara. Bahkan, aku diminta waspada, mengingat bahaya yang mungkin mengintai jika turun ke jalan.
Aku tidak memberi apa-apa. Namun, mereka meninggalkan ‘jejak’-nya dalam ingatanku. Sama seperti ketika cahaya tak terkikis gerimis di sebuah sore beberapa tahun lalu. Sebuah kisah yang kutulis dan nangkring di buku Memorable of Journey.
BACA JUGA: Rezeki Penjual Kerang Rebus
Malam itu, sepulang wawancara, aku naik kendaraan umum dan berusaha bersikap biasa, sewajar yang aku bisa. Namun, air mata rupanya menerobos ke pelupuk tanpa disadari kapan bermula. Wajah-wajah mereka seolah muncul di cermin sebagai pantulan bayanganku sendiri. Di sana kulihat wajahku. Wajah seorang anak kecil yang papa.
Karena keluarga, mereka jadi sengsara. Tetapi jika bukan karena ‘keluarga’ akupun pasti seperti mereka. Hidup terlunta-lunta tanpa pernah mengenal bangku sekolah. Dan, Allah tahu, jika nasib itu benar-benar menimpa, aku mungkin tidak mampu setegar mereka.
Betapa aku beruntung mengecap hidup yang ‘lebih’ daripada semestinya. Aku tidak bisa membayangkan jika harus bernafas tanpa pendidikan dan setiap hari bergelut dengan hidup yang tanpa pilihan. Hanya ada kata ‘harus’ dan ‘demi’. Hidup seperti itu tentu sulit dan berat sekali.
Bukankah kita hanya ingat pada diri sendiri dan sering melupakan atau tidak menghiraukan nasib orang lain? Ya. Benar. Kebanyakan dari kita memang egois. Di mata kita mereka seolah tak kasat. Jikapun tidak, mereka mungkin dianggap layaknya debu yang dirasa mencemari udara yang kita hirup. Padahal, bumi dan langit serta dunia ini bukan milik kita sendiri.
Alam ini tercipta untuk ditempati dan saling berbagi. Bukannya saling beradu eksistensi, merasa diri jadi yang paling menguasai. Jadi yang paling hakiki. Yang paling suci. Sementara yang lain dianggap kotoran dan harus disingkirkan. Dianggap gangguan bagi kenyamanan. Dan, semua tuduhan itu seakan harus menjadi benar meskipun tidak berdasar.
Malam itu, aku sadar, semuanya salah jika menaruh prasangka paling busuk ke arah anak-anak jalanan itu.
Ketika wawancara usai, aku bersiap hendak memasukkan buku cacatan ke dalam tas. Aku kaget melihat resleting tasku ternyata tidak tertutup. Hm…menilik sedekat apa aku duduk dengan mardi dan seniornya barusan, membuatku sedikit was-was. Namun, pikiran buruk itu kusembunyikan.
BACA JUGA: Aa Ganteng di Tukang Kupat Tahu
Di dalam kendaraan, jauh dari jangkauan mata mereka, barulah aku mulai memeriksa semuanya, khawatir ada yang hilang. Tempat makan dan minum masih lengkap beserta seluruh sisa isinya. Uang jajan yang aku taruh di saku juga utuh. Dompet keringku pun baik-baik saja. Semuanya aman.
Dan, aku mulai menangis lagi atas kejadian ini. sepanjang wawancara banyak anak jalanan yang mengitari tempat aku duduk. Selama itu pula resleting tasku terbuka lebar-lebar. Dan, aku tidak lagi kuasa menyeka air mata saat mengingat dan menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa aku mungkin saja kehilangan sesuatu yang berharga, yang aku perjuangkan selama sebulan penuh dari pagi hingga petang di setiap harinya.
Ya, hari wawancara ini bertepatan dengan hari gajian. Amplopnya tergeletak begitu saja di dalam tas tanpa perlindungan. Tetapi tidak ada satu tangan pun, yang biasanya dipandang sebagai gangguan itu, yang menyentuhnya. Dan, yang menyesakkan dada ini adalah kenyataan bahwa tidak sepeser rupiah pun yang aku rogoh dari dalam amplop tersebut untuk mereka. Aku sungguh tega!
Begitulah, sehingga di atas kendaraan umum, aku berlinang air mata. Bercengkrama dengan haru dan kepedihan mereka. Hanya bisa kuhadirkan mereka dalam do’a. Semoga Allah senantiasa melindungi mereka dan membukakan jalan bagi mereka untuk meraih masa depan yang cerah. Aamiin. []