Oleh: Silvi Annabiila
silviabiila16@gmail.com
Ukhti, izinkan sesamamu ini berkisah. Sebut saja sebulir buih, orang-orang menyebutnya cinta. Mampu tumbuh, mengembang pesat menyesaki sudut-sudut ruang. Tak ada alasan untuk memungkiri bahwa suatu saat bisa hancur karena letupan. Mengapa begitu?
Pada hati bersemayam suatu bilik. Tempat menetap bagi seorang yang tersurat mendampingimu. Semestinya dijaga, bentengi dari segala ranjau dan pengacau.
Namun sayangnya teori itu benar. Wanita (baca : kita) lebih menjunjung rasa ketimbang logika. Lemah oleh tatapan sayu, pun kekata syahdu.
Sempat terlanjur menyimpan sebuah nama. Terang-terangan mengasah angan, menajam sebagai harap. Menyertakan dalam do’a yang disemogakan. Mendekapnya bersama sujud yang menggugu di tiap malam.
Salahkah itu, aku tak menahu. Hanya saja tetiba terngiang ujar seorang kawan , “Takut berkhianat pada yang tersurat di Lauhul Mahfudz.”
Tidakkah kau takut, jatuh hati pada yang bukan untukmu?
Tidakkah pedih, jika nama yang kau sebut, mengutip gadis yang lain dalam sujudnya?
Tidakkah runtuh, jika kau berusaha pantaskan diri untuknya, namun ia mempersiapkan diri untuk orang lain?
Tidakkah kau hancur, jika pribadi yang kau semogakan di setiap detak, malah bersanding dengan wanita lain bersama senyum nan mengembang?
Fitrah kita, mendamba sesosok, memupuk munajat atas dipertemukannya dengan yang terbaik. Fitrah kita, merasa sakit ketika yang lain juga menaruh kagum terhadapnya. Fitrah kita, merasa ikut memiliki, padahal saling kenal pun belum terealisasi. Fitrah kita, itu fitrah kita.
Mungkin kau berpikir bahwa kalimat ‘fitrah kita’ yang bertubi dariku, tak lebih dari ajang pembelaan semata. Mencari-cari alasan, memungkiri keharusan untuk menyingkirkan gejolak tersebut. Aku rasa pun begitu.
Robbi dzolamtu nafsi, faghfirlii. Tuhan, aku telah mendzolimi diri sendiri, maka ampunilah aku.
Lagi-lagi teori itu benar. Jika lelaki lemah pada pandangan, maka wanita lemah pada pendengaran. Mudah terbuai oleh kalimat-kalimat teduh yang merasuk dalam kalbu. Di sinilah syetan mengembangkan senyum sambil terus melancarkan bujuk rayu.
Ukhti, kita ini istimewa, bukan?
Yuk, bentengi hati dan luruskan niat. Jangan sampai perasaan begitu mudah luluh. Jangan mudah baper. Hati kita terlalu berharga untuk hal seperti itu.
Maka, mari hentikan mendzolimi diri dengan kepingan dambaan yang masih semu. Persiapkan saja bilik dalam hati. Perindah, pernyaman, untuk dia yang saat ini sama-sama sedang perbaiki diri. Bisa jadi dialah yang sempat singgah dalam helaan rindu, siapa yang tahu?
Jangan lupa, niatkan karena Allah. Bukan melulu karena jodoh.
Ukhti, mari kita melangkah bersama. Genggam aku dalam ukhuwah. Karena sejatinya masing-masing dari kita saling sadar, bahwa kita manusia. Tak luput dari khilaf serta dosa. Serta mudah dalam berkata, namun sebaliknya dalam berbuat. Betapa kita saling membutuhkan, saling mengingatkan jika salah seorang berbuat kekeliruan.
Mari mengingat, sebuah kalimat yang telah familiar “Ketika Zulaikha mengejar cinta Yusuf, Allah jauhkan Yusuf darinya. Namun, ketika Zulaikha mengejar cinta Allah, Dia dekatkan Yusuf untuknya.”
Maka mari kita pahami, cinta mana yang paling utama.
Sekali lagi, niatkan karena DIA, bukan karena dia.
Allohumma yaa muqollibal quluub. Tsabbits qulubanaa ‘ala diinik. []