Oleh: Syarifah Syifa Ayeisha
syifaayeisha@gmail.com
KEDATANGAN para pedagang dan ulama Arab beberapa tahun yang lalu ternyata banyak meninggalkan kesan tersendiri bagi masyarakat kita. Dari dulu hingga sekarang pun,tak jarang kita menemukan orang di sekitar kita yang memiliki gelar “Syarif/Sayyid” bagi lelaki dan gelar “Syarifah/Sayyidah” bagi perempuan.
Sebenarnya ada apa dengan gelar tersebut? Dan mengapa perempuan yang bergelar “Syarifah” dituntut harus menikah dengan lelaki yang bergelar “Syarif”? Kemudian,apa saja syarat dan ketentuan bagi mereka yang memiliki gelar tersebut? Adakah keutamaan dari Keturunan Syarif dan Syarifah?
Nah, di sini penulis akan memaparkan sedikit mengenai sejarah adanya gelar tersebut dan beberapa penjelasan lainnya terkait judul di atas.
Syarif dan Syarifah merupakan keturunan yang memiliki nasab atau garis keturunan langsung kepada Rasulullah Saw. dari anaknya (Sayyidah Fathimah Az-Zahra) kemudian cucu-cucunya (Hasan dan Husain) hingga keturunan seterusnya.
BACA JUGA: Kisah Hasan al-Bashri saat Berkunjung ke Rumah Muridnya Habib al-Ajami
Para Syarif dan Syarifah juga memiliki keunikan tersendiri dari orang-orang pada umumnya. Dari segi perawakannya, wajah, ataupun garis muka, mereka berbeda dengan orang-orang lainnya. Tentu saja ini tak terlepas dari sejarah bangsa Arab yang pernah singgah di negeri ini.
Para keturunan Syarif dan Syarifah memiliki wajah yang sangat kearab-araban,kemudian sebagian besar dari mereka juga berkulit putih dan bermata kecoklat-coklatan. Maka tak heran apabila masyarakat kita yang memiliki gelar tersebut cantik dan tampan.
Dikarenakan mereka memiliki garis keturunan langsung kepada Rasulullah Saw. yang memiliki kemuliaan, maka dari itu mereka juga harus tetap mempertahankan nasab atau garis keturunan Syarif dan Syarifah.
Al-Baihaqiy, Thabraniy dan lain-lainnya meriwayatkan sebuah hadis dari Siti Fathimah Az-Zahra r.a ketika Umar Ibnul-Khattab meminang puteri Imam ‘Ali (puteri Siti Fathimah az-Zahra),Umar r.a berkata: “Aku tidak menginginkan kedudukan,tetapi saya pernah mendengar Rasulullah Saw. berkata: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali sebabku dan nasabku.
“Semua anak yang dilahirkan ibunya, bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab’.
Umar r.a berkata lebih lanjut : ‘Aku adalah sahabat beliau,dan dengan hidup bersama Ummu Kaltsum aku ingin memperoleh hubungan sebab dan nasab dengan beliau (Rasulullah Saw)”.
Bedasarkan pada penjelaasan Rasulullah Saw, pada hari akhir kelak, seluruh nasab akan terputus kecuali nasabnya Rasul.
Adapun makna yang terkandung dalam hadis tersebut adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw melainkan terputusnya nasab seorang anak,dan tidak akan terputusnya nasab seorang anak melainkan karna perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada Rasulullah Saw. (dengan yang bukan syarif atau sayyid).
Dan apabila terputusnya nasab tersebut,maka Rasulullah Saw. tidak akan memberikan syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah Saw melalaui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan syarif atau sayyid.
Seharusnya para keturunan Rasulullah Saw saat ini,tetap harus menjaga dan mempertahankan nasabnya melalui perkawinan syarifah dengan syarif atau sayyid agar tetap menjadi keturunan dari sosok yang mulia dan mendapatkan syafa’atnya.
BACA JUGA: Julukan untuk Para Sahabat
Namun sekarang, banyak sekali syarifah yang sudah tidak mempedulikan hal tersebut dan menyepelekan nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka melalui nasabnya sehingga dapat menyebabkan berkurangnya keturunan Rasulullah Saw.
Maka demikian, para wali dari syarifah seharusnya menuntut anaknya untuk menikah dengan lelaki yang senasab atau dengan syarif.
Apabila yang bergelar syarifah dituntut harus menikah dengan syarif agar tidak memutuskan hubungan nasabnya, berbeda dengan syarif yang boleh menikah dengan yang bukan syarifah. Karena nasab seorang anak adalah ayahnya bukan ibunya, maka apabila syarif menikah dengan yang bukan syarifah akan tetap melahirkan anak yang bergelar syarif atau syarifah.
Tapi alangkah baikknya jika syarif juga menikah dengan syarifah agar nasabnya lebih murni dibanding menikah dengan yang bukan syarifah. Ini adalah salah satu ikhtiar untuk menjaga keturunan Syarif dan Syarifah.
Terdapat beberapa pandangan mengenai larangan perkawinan syarifah dengan non syarif. Salah satunya menurut pandangan Habib Hasan bin Shaleh al-Jufrie,adanya larangan tersebut dikarenakan tiga faktor yaitu, faktor kafa’ah, wali dan usaha untuk menjaga kelestarian keturunan mereka.
Dalam hal ini yang menjadikan alasan adalah faktor kafa’ah dari segi nasab,karena nasab orang Arab khususnya Habaib tidak sekufu’ dengan orang ‘Ajam. Seseorang wanita yang nasabnya mulia akan dipandang rendah di mata masyarakat jika wanita tersebut menikah dengan lelaki yang tidak mulia. Ini karena keturunan Syarif dan Syarifah tidak dipertahankan.
Adapun larangan tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian keturunan mereka, yakni keturunan Rasulullah Saw.
Jika terjadi perkawinan antara syarifah dengan yang bukan syarif, maka akan terputusnya keturunan tersebut dan orang tersebut akan dianggap telah melakukan dosa, karena telah melanggar apa yang telah ditetapkan Rasulullah dalam hadisnya yang mengatakan bahwa nasabnya Rasulullah akan terjaga sampai hari kiamat.
Oleh sebab itu, para wali yang mengetahui akan hal tersebut tidak akan memberikan ridha (izin) kepada anak perempuan mereka untuk menikah dengan yang bukan syarif.
Dampak yang lain adalah tidak tercapainya tujuan pernikahan untuk memperoleh kebahagiaan, ketenangan dan kasih sayang. Fakta-fakta yang telah terjadi akibat pernikahan syarifah dengan non syarif didalam rumah tangga ialah kegagalan dalam membina rumah tangga dan akan merasa terkucilkan dengan sendirinya dari komunitas mereka. Rumah tangga seperti ini yang tidak mendapatkan keuntungan dari keturunan Syarif dan Syarifah.
Berkaitan dengan orang yang telah memutuskan hubungan keturunannya, beliau (Habib Hassan) mengisahkan bahwa keponakan beliau yang bernama Abdillah pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah di suatu rumah yang disampingnya terdapat satu kolam yang dalam, ketika Abdillah hendak bertemu dengan Rasulullah, dia melihat ada beberapa laki-laki yang tercebur dan hamper tenggelam dikolam tersebut.
Dan di dekat kolam tersebut ada seorang wanita yang sedang menangis,merasa kebingungan dengan kejadian tersebut, Abdillah masuk ke dalam rumah dan menyampaikan perihal yang terjadi kepada Rasulullah, kenapa Rasulullah tidak menolong orang-orang yang hampir tenggelam dan sangat membutuhkan pertolongan.
Kemudian Rasulullah menjawab pertanyaan dari Abdillah,beliau mengatakan bahwa orang-orang yang tenggelam tersebut adalah dari kalangan Habaib (keturunan Rasulullah) yang menikah dengan orang ‘Ajam dan wanita tersebut adalah Fathimah yang merasa sedih dan tidak ridha terhadap apa yang telah diperbuat oleh cucu-cucunya.
Ini karena mereka dianggap telah mengotori kemurnian dari nasabnya Rasulullah, dan Rasulullah sendiri mengatakan bahwa tidak akan menolog orang-orang tersebut sebelum Fathimah ridha terhadap perbuatan mereka.
Inti dari mimpi keponakan Habib Hassan (Abdillah) tersebut adalah Rasulullah tidak ridha jika ada dari keturunan beliau menikah dengan yang bukan sekufu’.
BACA JUGA: Abdullah bin Ja’far Digelari Samudera kedermawanan
Seorang wanita syarifah boleh menikah dengan yang bukan syarif jika walinya menyetujui dan memberikan ridhanya untuk menikah dengan yang yang bukan syarif,walaupun faktanya para wali di kalangan Habaib tidak ridha jika anak perempuannya menikah dengan yang bukan syarif.
Dalam kasus yang sering terjadi ketika syarifah menikah dengan yang bukan syarif, itu disebabkan karena wali mereka tidak begitu paham dan mengetahui akan persyaratan dan ketentuan untuk menjaga kelestarian keturunan Rasulullah Saw.
Nah, berbeda dengan pandangan Habib Hassan, Habib Musyayeh bin Alwi Baraqbah menanggapi bahwa didalam agama Islam tidak ada yang namanya membedakan status seseorang dengan seseorang lainnya bedasarkan kedudukan,nasab dan lain-lainnya. Semua sama dimata Allah Swt, yang membedakan hanyalah ketaqwaan mereka.
Ukuran kafa’ah seseorang hanya dilihat dari segi agama saja,yaitu agama Islam dan mempunyai akhlak mulia. Dalam hal menikah pun para Ulama sepakat bahwa pernikahan orang Islam dengan orang kafir hukumnya tidak diperbolehkan bedasarkan firman Allah Swt. Di dalam Surah Al-Baqarah ayat 221.
Mereka yang memiliki nasab kepada Rasulullah disebut Ahlul Bait. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah anak-anak Nabi,istri-istri Nabi,keturunan dari Hasan dan Husain dan keturunan Sayyidina Ali. Dari keturunan Hasan dan Husain kemudian dikenal dengan istilah Sayyid dan Syarif bagi lelaki dan bagi perempuan memakai istilah Sayyidah dan Syarifah.
Menurut syeikh Abdullah Ba’as,istilah Sayyid dan Sayyidah khusus bagi mereka yang nasabnya tersambung kepada Sayyidina Husain, sedangkan Syarif dan Syarifah khusus bagi mereka yang nasabnya tersambung kepada Sayyidina Hasan.
Para Ulama’ berpendapat bahwa yang menjadikan Ahlu Bait berbeda dengan orang ‘Ajam adalah banyaknya riwayat hadits yang menyebutkan keistimewaan, keutamaan dan kekhususan mereka, di antara kekhususan Ahlu Bait yang membedakan dengan orang ‘Ajam adalah sebagai berikut :
1. Ahlu bait diharamkan untuk menerima sedekah,
2. Ahlu Bait mempunyai nasab da nasal-usul yang mulia,
3. Nasab Ahlu Bait terjaga dan tidak akan terputus sampai hari kiamat,
4. Ahlu Bait memiliki lembaga yang menjaga kesahihan nasab.
Dari sekian banyaknya penjelasan yang telah dipaparkan diatas,bisa kita ambil kesimpulan bahwa mereka yang memiliki nasab atau memiliki garis keturunan kepada Rasulullah Saw, memiliki keistimewaan,kemuliaan,keunikan serta ketentuan untuk menjaga kemurnian nasab tersebut.
Cara untuk tetap menjaga keturunan tersebut ialah dengan menikahkan anak mereka yang wanita (syarifah) kepada lelaki yang juga memiliki keturunan tersebut (syarif/sayyid) dan apabila melenceng dari ketentuan tersebut,berarti orang tersebut dianggap telah berdosa karena memutuskan nasabnya.
Namun bisa kita lihat juga bagaimana mereka yang memiliki nasab tersebut pada jaman sekarang,banyak sekali para wali dari syarifah yang tidak menuntut anak perempuannya untuk menikah dengan yang sekufu’ (syarif) sehingga melahirkan keturunan yang bukan bernasab kepada Rasulullah lagi.
Hal ini juga disebabkan oleh faktor cinta atau harta. Seperti yang kita temui saat ini, ketika wali dari syarifah membiarkan anaknya untuk jatuh cinta dengan seorang yang bukan syarif atau sayyid hingga pada akhirnya sampai ke jenjang pernikahan. Keturunan Syarif dan Syarifah terancam tidak terlanjutkan.
Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian orang tua untuk menjaga anak perempuannya (syarifah) untuk tidak menjalin hubungan khusus dengan yang selain syarif atau sayyid apalagi sampai ke pernikahan.
Karena apabila telah membiarkan anak perempuannya berlarut-larut dalam cinta yang pada akhirnya tidak diperbolehkan untuk menikah, maka akan timbul rasa sakit dan kekecewaan antara keduanya.
Selain dalam hal pernikahan,keturunan yang memiliki nasab kepada Rasulullah,diharamkan untuk menerima zakat dan sedekah. Karena terdapat dalam hadits yang menyatakan bahwa Ahlul Bait (keturunan Rasulullah) diharamkan untuk menerima zakat dan sedekah.
Apabila hal tersebut terjadi, maka orang yang menerima zakat dan sedekah tersebut dianggap sebagai seburuk-buruknya manusia.
BACA JUGA: Belajar Sedekah dari Sayyidatina Aisyah Ra
Kemudian, selain beberapa ketentuan di atas, mereka juga tidak boleh melakukan kerusakan di bumi, berbuat dosa, maksiat, kejahatan dan hal-hal lainnya yang dapat menjatuhkan derajat kemuliaan nasab mereka (keturunan dari sosok yang mulia yaitu Rasulullah). Ternyata banyak sekali kemuliaan dari keturunan Syarif dan Syarifah.
Mereka seharusnya memperlihatkan akhlak dan sifat terpuji yang dapat mencerminkan bahwa mereka adalah keturunan Rasulullah yang mulia.
Dan bagi mereka yang memiliki nasab tersebut juga tidak boleh untuk merasa angkuh, riya’ dan sombong akan nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka sebagai keturunan yang mulia.
Mereka harus tetap tawadhu’,menjaga nama baik dan harus tetap menjaga kelestarian keturunan mereka.
Sekian paparan mengenai sejarah,keistimewaan,keunikan,serta ketentuan dari keturunan Rasulullah Saw. atau mereka yang memiliki gelar syarif dan syarifah. Semoga bermanfaat []