Oleh: Nurul Aqidah
Bogor – Jawa Barat
nurulaqidahku@gmail.com
DARI pengalaman pernah tinggal di Negeri Sakura, banyak hal baru yang bisa diambil dan dijadikan pelajaran. Salah satunya adalah budaya membaca dan menulis.
Bagi masyarakat Jepang, membaca dan menulis sudah menjadi aktifitas sehari-hari yang rutin. Sehingga jumlah toko buku di Jepang sangat banyak dan mudah dijangkau.
Namun, tidak semua pengunjung toko datang untuk membeli buku, terkadang ada pula yang hanya datang untuk sekedar “tachiyomi” (tachi artinya berdiri dan yomi artinya membaca jadi bisa diartikan membaca sambil berdiri di toko buku tanpa membeli).
Selain budaya membaca, mereka juga memiliki budaya menulis yang tinggi. Sejak kanak-kanak, mereka sudah diajarkan kebiasaan menulis “nikki” (catatan harian) atau “sakubun” (mengarang) dalam waktu-waktu tertentu, seperti ketika liburan kenaikan kelas, liburan musim panas, atau libur Hari Ayah/Ibu.
BACA JUGA: Ikan Salmon, Hiu Kecil dan Nelayan Jepang
Biasanya tugas mengarang bercerita tentang impian (cita-cita) ketika dewasa kelak, apa yang mereka kerjakan selama liburan atau bercerita seputar ayah dan ibu. Hasil karangan tersebut kemudian dipresentasikan di depan kelas dan didokumentasikan.
Masyarakat Jepang juga adalah masyarakat yang senang belajar, gemar mencari informasi dan selalu ingin berbagi informasi dengan orang lain.
Mereka senang menggali segala informasi yang mereka perlukan lalu mendokumentasikannya menjadi pengetahuan praktis yang bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain. Sehingga siapapun dapat menjadi penulis dan menerbitkan buku yang dapat menjadi informasi untuk orang lain.
Bahkan ada seorang ibu rumah tangga yang hanya membuat buku tentang cara membuat “bento” (bekal makanan) yang praktis dan menarik untuk anak-anak.
Meskipun hal-hal yang mereka tulis terkesan sederhana, tapi hal-hal tersebut terkadang menjadi penting dan sangat bermanfaat. Sehingga penerbit berani menerbitkan tulisan mereka dan bertemu dengan jodoh pembacanya di toko buku.
Membaca dan menulis bagi seorang muslim tidak bisa dijadikan sebagai budaya saja. Melainkan setiap aktivitas ini harus senantiasa disertai keterikatan terhadap Sang Pencipta. Membaca dalam Islam merupakan ajaran yang jelas dan tegas.
Dalam Alquran perintah membaca adalah wahyu pertama dan kata pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Hal ini terkandung dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 yang artinya: “Bacalah dengan menyebut nama TuhanMu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Dalam ayat tersebut terlihat bahwa membaca adalah sebuah perantara untuk mencapai sebuah pengetahuan. Walaupun kita tahu bahwa pengetahuan adalah tujuan dari membaca tetapi Allah tidak memulai Alquran dengan kata ta’allam (belajarlah) tetapi memulai dengan kata iqra‘ (bacalah). Sehingga membaca menjadi sebuah sarana terbesar untuk belajar.
Adapun kemampuan menulis merupakan salah satu karunia Allah SWT yang paling agung, sampai-sampai Allah SWT menggunakannya sebagai sumpah dalam Al-Qur’an, sebagaimana tersirat dalam firman-Nya. “Nuun, Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (TQS Al-Qalam ayat 1). Dalam ayat ini Allah SWT bersumpah dengan pena dan Allah SWT juga bersumpah dengan apa yang ditulis oleh manusia.
Di masa Rasulullah SAW para sahabat dilarang menulis sabda-sabdanya, karena dikhawatirkan terjadi tumpang tindih antara ayat Alquran dan sabda Nabi, sehingga para sahabat hanya menulis ayat-ayat Alquran di berbagai benda.
Namun, Rasulullah SAW justru berlaku khusus kepada sahabat muda ahli ibadah Abdullah bin Amr, putra ahli strategi perang Amr bi Ash ra.
Ketika Abdullah bin Amr dikeluhkan oleh para sahabat lain karena gemar menulis sabda-sabda Rasululllah SAW, ia menghadap Nabi untuk berkonsultasi. Abdullah bin Amr bin Ash ra kemudian diperintah oleh Nabi Muhammad SAW, “Tulislah!” “Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran”.
Abu Hurairah ra berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling banyak (meriwayatkan) hadits dari Beliau (Muhammad SAW) selain aku, kecuali dari Abdullah bin Amr, karena ia dahulu menulis, sedangkan aku tidak menulis” (HR. Bukhari). Sahabat Ali bin Abi Thalib pun pernah berkata: “Ikatlah ilmu dengan menulis”. Artinya menulis adalah salah satu cara untuk mengikat ilmu agar tidak mudah hilang.
BACA JUGA: 6 Keutamaan Membaca Al-Quran Saat Shubuh
Menulis dalam Islam adalah hal penting kedua setelah perintah untuk membaca. Menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media informasi. Namun, sebanyak apapun membaca dan sebagus apapun tulisan kita, tidaklah akan memberikan arti jika kita tidak menyebarkannya. Sehingga membaca dan menulis saja tidaklah cukup, perlu adanya proses menyebarluaskan tulisan yang kita buat agar memberikan pengaruh kebaikan terhadap orang lain.
https://www.youtube.com/watch?v=JLp4VyfbihQ
Ketika tulisan yang kita sebarluaskan memberikan kebaikan bagi orang lain, maka insyaAllah akan menjadi ilmu bermanfaat yang mengalirkan pahala jariyah meskipun ajal telah memanggil.
Ini sesuai sabda Nabi Muhammad SAW: “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang soleh” (HR. Muslim). Maka dari itu, mari bersemangat untuk bisa membudayakan membaca, menulis, dan menyebarluaskan. []