AMSTERDAM–Pada malam pertama Bulan Ramadhan, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis melakukan perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda.
Saat itu, ia pun bertekad untuk tetap berpuasa meskipun Islam memberi dispensasi (rukhshoh) kepada orang yang berpergian jauh untuk tidak berpuasa.
Imam Ahmad bin Hambal bahkan menyatakan bahwa orang musafir itu tidak baik menjalankan ibadah puasa. Namun, saya tetap berpuasa karena beban moral dalam diri saya.
“Masa saya yang akan dakwah dan ceramah di depan orang berpuasa, kok diri sendiri tak menjalankan ibadah puasa,” ujar Kiai Cholil, Minggu (4/6/2017).
Tekat itulah yang memotivasi Kiai Cholil untuk tetap berpuasa saat menjalankan safari Ramadhan di beberapa negara. Selain itu, kata dia, berpuasa akan dapat menjaga kesehatan selama dalam perjalanan.
Berikut pengalaman lengkap Kiai Cholil saat berpuasa 23 jam di Belanda:
Puasa hari pertama saya menjalankannya selama 23 jam. Sebab saya sahur di malam Sabtu itu sekitar pukul 12.00 saat pesawat berada di atas Kota Doha menuju sebelah Tehran. Selisih waktu saat sahur di pesawat dengan waktu setempat di Amsterdam sekitar empat jam. Saya lanjutkan berpuasa 19 jam di Amsterdam sehingga total saya berpuasa di hari pertama selama 23 jam.
Di Musim panas di Eropa waktu siangnya lebih panjang dari pada waktu malamnya. Malam hari hanya lima jam. Mulai masuk waktu Maghrib pukul 21.48, Isya pukul 23.58 dan waktu Subuh pukul 03.08. Karena itu, saya praktis tak tidur semalaman karena seusai shalat tarawih langsung makan sahur dan dilanjutkan shalat Subuh. Waktu istirahat tidur pun berpindah seusai shalat Subuh.
Kondisi alam Eropa di musim panas memunculkan banyak masalah fikih, mulai dari waktu turunnya Lailatul Qadar, menjalankan ibadah puasa dan melaksanakan shalat. Ada juga yang menfatwakan agar puasanya mengikuti waktu di Makkah dan ada fatwa lain bahwa Shalat Isya’nya boleh dijama’ taqdim (digabung waktunya lebih awal) dengan waktu maghrib agar lebih banyak bisa istirahat. Meskipun, fatwa ini tak semua masyarakat muslim mengikutinya.
Pengalaman saya berpuasa di Eropa tak ada masalah dengan perubahan waktu. 19 jam berpuasa serasa tak jauh berbeda dengan berpuasa yang 13 jam seperti di Tanah Air. Kesehatan tak terganggu dan bahkan normal dapat melakukan aktifitas dan perjalanan. Shalat pun yang saya lakukan tidak menjamaknya. Itu pun tak menggangu waktu istirahat masyarakat.
Kondisi Masyarakat pun di Eropa tak menampakkan suasana Bulan Ramadhan. Jam kerja dan warung-warung buka seperti biasanya. Bahkan di musim panas bagi masyarakat Eropa adalah surga karena dapat menikmati panas matahari. Pakaian masyarakat Eropa minim dan terbuka dan senang berjemur di taman-taman ruang terbuka. Inilah tantangan maksiat mata bagi orang yang yang berpuasa di musim panas di Eropa.
Semua ibadah dan puasa dapat dilaksanakan dengan baik karena ada tekat dibuat oleh iman sehingga sistem tubuh terformat dengan baik. Puasa itu menyehatkan jasmani dan rohani. []
Sumber: Republika