KHABAR (الخبر) adalah ucapan yang mengandung kemungkinan benar dan salah pada zatnya. Misal kita katakan, “Ahmad sedang berdiri”. Ucapan ini dari sisi ucapannya itu sendiri, mengandung kemungkinan benar dan salah.
Benar, jika faktanya Ahmad memang sedang berdiri. Salah, jika faktanya Ahmad tidak sedang berdiri.
Khabar bisa dipastikan kebenarannya, bisa juga dipastikan ketidakbenarannya, dilihat dari faktor-faktor yang menyertai (qarinah) khabar tersebut.
Ditinjau dari sisi ini, khabar terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Khabar yang dipastikan kebenarannya
Khabar kadang derajat kebenarannya 100%, qath’i kebenarannya, pasti benar, tak mungkin salah.
Contohnya:
(a) Khabar mutawatir, yaitu informasi yang disampaikan oleh banyak orang di tiap tingkatan transmisinya, dari awal sumber informasi terus sampai ke telinga kita, dan menurut kebiasaan yang berlaku, tidak mungkin mereka semua sepakat berdusta (misal: mereka tak punya kepentingan bersama yang membuat mereka harus merekayasa informasi), dan sumber informasi tersebut berasal dari hal-hal yang sifatnya indrawi.
Misal, informasi tentang keberadaan Makkah dan Madinah, bagi yang belum pernah berkunjung ke sana, apalagi di masa lalu saat belum ada TV dan internet. Meski di masa lalu, orang-orang hanya tahu Makkah dan Madinah, dari kabar yang beredar, namun tingkat kebenarannya 100%, karena yang mengabarkan keberadaannya sangat banyak, dari berbagai latar belakang yang berbeda, dan tidak ada alasan juga mereka sepakat untuk berdusta.
BACA JUGA: Yaumul Hisab dan Dalilnya
(b) Khabar dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para Nabi dan Rasul lainnya.
Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan satu informasi, baik tentang kejadian di masa lalu, kejadian di masa depan, dan seterusnya, maka bagi yang mendengarnya langsung dari beliau, tingkat kebenarannya itu 100%, pasti benar, karena ucapan beliau itu berasal dari wahyu.
Demikian juga, khabar yang disampaikan oleh orang lain di hadapan Nabi, kemudian Nabi menyetujuinya, maka itu juga derajat kebenarannya 100%.
Adapun jika informasi tersebut, kita dapatkan dari Nabi, melalui jalur transmisi orang lain (rantai sanad), keadaannya sudah berbeda. Karena ada kemungkinan informasi tersebut keliru, bukan dari Nabi, tapi kekeliruan dari pembawa informasi (rawi) tersebut. Dari sini, Hadits kemudian dibagi menjadi dua oleh jumhur ulama, yaitu Hadits mutawatir dan Hadits ahad.
(c) Khabar yang kebenarannya dibuktikan melalui fakta dari informasi tersebut.
Khabar juga bisa diketahui kebenarannya 100%, saat hal yang diinformasikan tersebut bisa dibuktikan kepastian kebenarannya. Misal, khabar bahwa api itu bisa membakar, bisa dipastikan kebenarannya dari fakta yang jelas terlihat. Atau jumlah total sudut segitiga adalah 180 derajat, ini bisa dipastikan kebenarannya melalui ratusan pembuktian, dan tidak pernah meleset sekali pun.
2. Khabar yang dipastikan kesalahannya
Khabar juga bisa dipastikan kesalahannya, peluang kebenarannya nol persen, dilihat dari faktor-faktor yang menyertainya.
Contohnya:
(a) Khabar tersebut jelas salah, dilihat dari faktanya, dan hal itu diketahui oleh semua orang berakal.
Misal, informasi bahwa api itu sifatnya dingin, tidak panas. Ini jelas salah. Adapun kejadian yang terjadi pada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, itu adalah mu’jizat, dan malah menunjukkan, pada dasarnya api itu panas dan membakar, karena itu Allah memerintahkannya untuk menjadi dingin dan tidak membahayakan Nabi Ibrahim.
Misalnya juga, bagian (juz) dari satu benda itu lebih besar dari benda itu keseluruhannya (kull). Semua orang berakal menolak hal ini.
(b) Khabar tersebut jelas salah, dilihat dari faktanya, namun kesalahannya hanya diketahui melalui pembuktian dan penelitian. Misal, informasi bahwa total sudut segitiga itu 200 derajat. Ini dipastikan salah, melalui pembuktian.
Atau informasi bahwa alam semesta ini qadim (ada tanpa didahului ketiadaan), sebagaimana keyakinan sebagian filsuf. Ini dipastikan salah melalui pembuktian akal.
(c) Khabar yang menyelisihi nash yang qath’i (sumber dan makna yang ditunjukkannya) dan ijma’ yang qath’i. Termasuk di dalamnya, informasi yang mengklaim ada kenabian dan kerasulan setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
BACA JUGA: Benarkah Beragama Itu Harus dengan Dalil, Tidak Boleh dengan Akal?
3. Khabar yang tingkat kebenaran dan ketidakbenarannya tidak sampai 100%
Sebuah informasi, kadang kuat sekali kemungkinan benarnya, namun masih tersisa kemungkinan salah. Atau sebaliknya, informasi tersebut kuat sekali kemungkinan salahnya, tapi masih ada kemungkinan benar. Khabar semacam ini derajat kebenarannya zhanni, dan ia bertingkat-tingkat.
Ada yang kemungkinan benarnya sangat tinggi, misal 75%, atau 80%, 90%, 95%, tapi tidak sampai 100%. Ada juga yang kemungkinan benarnya kecil, misal 40%, 30%, 20%, tapi tidak sampai 0%.
Dalam Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini disebut Hadits ahad. Dan mayoritas Hadits Nabi yang kita terima saat ini, adalah Hadits ahad. Karena itu, ulama membuat klasifikasi, jika kemungkinan benarnya sangat besar, ia disebut Hadits shahih, dan wajib kita amalkan. Di bawah sedikit, ada Hadits hasan, juga wajib diamalkan.
Jika kemungkinan benarnya kecil, misal karena ada sanad yang terputus, atau pembawa informasi sering lupa, dan seterusnya, ia disebut Hadits dhaif. Hadits dhaif pun bertingkat-tingkat. Sebagiannya masih diamalkan, dengan syarat-syarat tertentu.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Khulashah Fi Ushul Al-Fiqh, karya Dr. Muhammad Hasan Hitu, Halaman 95-100, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait. (Dengan beberapa tambahan)
Oleh: Muhammad Abduh Negara