TERDENGAR suara langkah dari serombongan orang Quraisy menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Khabbab bin Arats ialah seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Saat itu tak seperti biasanya, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, tak juga dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.
Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab dengan wajahnya yang terlihat bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air mata sukacita. Maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.
BACA JUGA: Manfaat Membaca Sirah Nabi
Lalu mereka menanyakan kepada Khabbab, “Sudah selesaikah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?”
Sementara mata Khabbab tampak sinar kegembiraan, lalu katanya, “Sungguh, keadaannya amat menakjubkan!”
Orang-orang itu kembali bertanya kepadanya, “Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat?”
Khabbab bertanya lain pada mereka, “Apakah tuan-tuan sudah melihatnya? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya?” Mereka saling pandang dengan rasa keheranan. Salah seorang di antara mereka bertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: “Dan apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab?” Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik bertanya: “Siapa maksudmu … ?”
“Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!” Ujar satu diantara mereka dengan marah. Maka Khabbab mengakui keislamannya di hadapan mereka, karena ia telah meyakini kebenaran itu, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang. Dan dengan kekaguman terhadap suatu hal yang baru ia yakini maka disampaikanlah jawabannya, dengan ucapnya, “Benar, saya telah melihat dan mendengarnya! Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya!”
Sekarang orang-orang Quraisy itu sudah mengerti maksud dari ucapannya, namun ia tetap bertanya, “Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar?”
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut: “Siapa lagi, hai Arab sahabatku, siapa lagi di antara kaum Anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia seorang?”
Seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula: “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad.”
BACA JUGA: Amr bin Ash; Sahabat Rasul Penggagas Social Distancing
Dengan rasa kebanggaan ia seraya berkata, “Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang . . . “ Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya, begitu pun apa yang diucapkan orang kepadanya. Ia hanya ingat bahwa setelah beberapa saat sadarkan diri, tamu-tamunya sudah tak ada. sementara tubuhnya bengkak-bengkak dan tulang-ulangnya terasa sakit, dan darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya.
Dengan renungannya yang dalam ia hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau. Tentang segala nikmat atas keislamannya itu. Dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka pada tubuhnya dan mempersiapkan dirinya untuk menerima kenikmatan baru. Mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. []
Sumber: Karakterisik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah/Penulis: Khalid Muhammad Khalid/Penerbit: Diponegoro/2006