UMAR bin Abdul Aziz dari Daulah Ummayyah (menjabat tahun 717-720 M) adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Beliau sangat jujur, sehingga kekuasaan di tangannya meski hanya beberapa tahun menyebabkan kernakmuran bagi rakyatnya. Namun beliau sangat disiplin kepada diri dan keluarganya.
Beliau sangat berhati-hati menggunakan sumber daya yang dimiliki negara, agar tidak sampai bocor dan jatuh kepada mereka yang tidak berhak. Oleh karena itu, rakyatnya hidup dalam suasana makmur, rukun dan damai.
BACA JUGA: Saat Umar bin Abdul Aziz Pecat Semua Gubernur dan Pejabat
Mereka tidak ragu menyampaikan keluhan atau kesulitan hidup mereka, terutama keluhan atas perlakuan para punggawa atau birokrat yang sering melakukan perbuatan tercela tanpa mempertimbangkan baik buruknya untuk rakyat dan wibawa pemerintah.
Beliau tidak ingin melihat rakyatnya berbuat tidak senonoh akibat contoh para pemimpinnya. Karenanya beliau tidak segan-segan menghukum siapa pun yang berbuat salah, termasuk para pejabat, orang-orang kepercayaannya, atau siapa pun yang berbuat salah.
Suatu malam, ketika beliau sedang pembukuan keluar-masuknya dana Baitul Mal kantornya, terdengar ketukan di pintunya.
Beliau bertanya, “Siapa?”
“Saya, ayah,” jawab suara dari luar kamar.
Beliau bertanya lagi, “Ada urusan apa, urusan keluarga, negara atau masyarakat, anakku?”
“Urusan keluarga, ayah,” jawab anaknya.
“Tunggu,” kata khalifah dari dalam ruang kerjanya, sambil berjalan menuju lampu yang cuma satu-satunya di ruangan itu.
BACA JUGA: Sibuk Rapikan Rambut, Umar bin Abdul Aziz Terlambat Shalat
Tiba-tiba ditiupnya lampu itu hingga padam. Ruang kerja itu pun menjadi gelap. Selanjutnya beliau menuju pintu dan membukanya. Anak beliau pun dipersilakan masuk. Pemuda itu heran, karena harus berbicara di bilik yang gelap.
Maka bertanyalah dia kepada ayahnya, “Ayah, di kamar ini hanya ada satu lampu, mengapa ayah matikan lampu yang satu itu? Apakah kita akan berbicara di tengah kegelapan?”
“Anakku, yang akan kita perbincangan adalah urusan keluarga, sedangkan lampu yang menerangi ruang kerja ini diminyaki dari uang negara yang berasal dari rakyat. Aku tak ingin urusan keluarga sampai merugikan milik rakyat dan negara. Padahal kekuasaan adalah amanah yang akan dimintakan pertangunganjawabnya kelak oleh Allab di hari pembalasan (kiamat).” []
Sumber: Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis/ Penerbit: Dr. Yan Orgianus / Penerbit: Akbarmedia,2012