NAMA lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah Al-Fihry Al-Quraiys, namun lebih dikenal dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Wajahnya selalu berseri, matanya bersinar, ramah kepada semua orang, sehingga mereka simpati kepadanya. Di samping sifatnya yang lemah lembut, dia sangat tawadhu dan pemalu. Tapi bila menghadapi suatu urusan penting, ia sangat cekatan.
Sikapnya tersebut membuat Abu Ubaidah diangkat sebagai gubernur di Syam. Ia menjadi gubernur yang sangat adil serta bijak terhadap rakyatnya. Bahkan ia lebih mementingkan rakyatnya daripada dirinya sendiri.
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khaththab berniat mengunjungi Ubaidah bin Jarrah di rumahnya di Syam. Khalifah telah mendengar kabar tentang kezuhudan Ubaidah meski ia mengemban amanah sebagai seorang gubernur.
“Wahai Abu Ubaidah, izinkan aku untuk mampir ke rumahmu?” Ucap Umar.
“Untuk apa Tuan datang ke rumahku?” tanya Ubaidah. “Aku takut engkau hanya akan menangis nantinya,” sambungnya berusaha melarang Khalifah Umar datang ke rumahnya.
BACA JUGA: Khalifah Umar Mencari Keadilan
“Jauh-jauh aku datang kemari, tidakkah kau mengizinkanku mampir sejenak?” tanya Umar.
Abu Ubaidah tidak memiliki jawaban lain kecuali mengiyakan. Lagi pula, tak ada alasan baginya untuk tidak memuliakan para khalifah yang memimpin umat Islam, sesudah Rasulullah yang dicintainya tiada. Sejak mengikrarkan syahadat, Abu Ubaidah menyerahkan jiwa dan raganya untuk Islam.
Saat Perang Badar berkobar, ia rela berhadapan dengan kenyataan pahit. Allah mempertemukannya dengan ayahnya sendiri yang kafir. Duel tak dapat dihindari. Meski hatinya tak menghendaki, sang ayah akhirnya tewas di tangannya sendiri. Baginya, kebenaran harus mengalahkan kebatilan.
Hari itu, Khalifah Umar benar-benar datang.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa ‘alaikumus salam. Masuklah, wahai Khalifah Umar!”
Khalifah Umar melangkah masuk. Khalifah mengedarkan pandang sembari terheran-heran. Di ruangan itu, ia tidak mendapati perabotan-perabotan layaknya sebuah rumah, kecuali selembar tirai yang lusuh dan sebuah piring.
Umar bertanya, “Hai Abu Ubaidah, di manakah penghidupanmu? Mengapa aku tidak melihat apa-apa selain sepotong kain lusuh dan sebuah piring? Kau ini kan seorang gubernur?”
Belum sempat Abu Ubaidah menjawab, Khalifah Umar bertanya lagi. “Mana makananmu? Tidakkah kau memiliki makanan?”
BACA JUGA: Ketika Umar bin Khaththab Bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab
Abu Ubaidah berdiri lalu menuju ke sebuah ranjang. Ia mengambil arang dari dalamnya dan menunjukkannya kepada Khalifah Umar. Khalifah Umar tak sanggup menahan haru. Air matanya meleleh melihat keadaan Abu Ubaidah.
“Wahai Khalifah, bukankah sudah kukatakan padamu, engkau hanya akan meneteskan air mata jika datang ke rumahku?”
Selepas peristiwa itu, Khalifah Umar mengirim utusan untuk memberikan uang 4000 dinar kepada Abu Ubaidah. Bukannya menggunakan uang itu untuk mencukupi kebutuhannya, Abu Ubaidah justru membagi-bagikannya. []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015