ADA beberapa cara pandang orang tentang perkara khilafiyah di bidang fiqih yang membuat saya bingung dan termenung.
Misal:
1. Ada orang yang ‘menafikan’ sama sekali adanya khilafiyah. Pokoknya, yang dia baca dari ‘buku rujukan’-nya, atau penjelasan dari ‘ustadz mu’tabar’-nya, itulah yang sunnah, itulah amalan yang shahih. Yang menyelisihinya berarti bid’ah, menyelisihi sunnah, dan tertolak.
2. Ada orang yang ‘mengampang-gampangkan’ pembahasan khilafiyah. Persoalan apa saja akan dia katakan, ‘para ulama berbeda pendapat’, ‘itu perkara khilafiyah’, dan yang semisalnya. Padahal ia belum pernah juga mengkaji masalah-masalah tersebut secara serius. Bahkan terkadang, perkara yang hukumnya sudah ittifaq para ulama, masih saja dikatakannya ‘perkara khilafiyah’.
BACA JUGA: Benarkah Qunut Shubuh Bukan Termasuk Masalah Khilafiyah Ijtihadiyah?
3. Ada orang yang ‘mengakui’ ada khilafiyah yang mu’tabar, dan ada yang tidak. Namun, rumitnya ternyata khilaf mu’tabar yang dia maksud adalah jika khilaf tersebut terjadi di antara para ustadz dan syaikh-syaikh ‘panutan’nya saja. Sedangkan jika para ustadz dan syaikh-syaikh tersebut satu suara, dan di luar sana ada ahli ilmu lain yang berbeda pendapat, dia akan katakan bahwa itu bukan khilaf yang mu’tabar.
BACA JUGA: Transaksi Tawarruq Diperbolehkan? Apa Pula Itu Tawarruq?
4. Ada orang yang menjadikan alasan khilafiyah untuk ‘tak terstruktur’ dalam beramal. Dia memahami bahwa tahi ayam tidak najis, kemudian berwudhu dengan mengusap sebagian kepala sudah sah, bersentuhan dengan wanita tidak membatalkan wudhu, mengusap telinga saat wudhu tidak wajib, saat jadi imam membaca al-Fatihah tanpa men-jahr-kan basmalah, turun sujud mendahulukan lutut, dan demikian seterusnya. Yang diambil yang ‘enak’-nya saja, toh itu kan perkara khilafiyah.
Semoga cara berpikir yang ‘aneh’ seperti misal di atas tidak ada pada kita. Wallahul musta’an.
Facebook: Muhammad Abduh Negara