KHUSYU adalah kata sederhana namun sulit dalam pelaksanaannya. Apalagi jika khusyu dalam shalat banyak orang yang merasa tidak mudah untuk menjalankannya. Berbicara khusyu dalam shalat ada kisah menarik tentang hal itu.
Bagaimana ceritanya? Simak ceritanya berikut ini:
“Wah, susah shalat khusyu mah. Nggak bakalan bisa dech! Wong kita masih punya pendengaran dan penglihatan,”ujar seorang teman ketika nyantri.
“Yang bisa memiliki kekhusyuan hanyalah orang-orang suci seperti sahabat,” lanjutnya.
“Tuh lihat, Sayyidina Ali! Panah yang menusuk beliau dicabut saat shalat, tapi tak merasakan apa-apa. Beliau tidak sadar anak panah sudah dicabut!,” tambahnya serius.
Jangan dulu apriori terhadap pandangan tersebut. “Gus saya punya pandangan lain,” ujar Fulan terhadap Agus. Apa mungkin orang yang tidak sadar shalatnya disebut khusyu? Bukankah Allah Swt melarang siapapun shalat dalam keadaan mabuk alias tidak sadar. Coba tengok surat An Nisa [4] ayat 43:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk, sampai kalain mengetahui apa yang kalian katakan; …..”
“Lalu, bagaimana kasus Sayyidina Ali antum posisikan secara proporsional?” tanyanya.
Fulan berkata kepada Agus,” Coba ingat-ingat ketika kita dulu pernah ke Kebun Raya Bogor. Kita dengan teman-teman makan bersama. Sambil ngobrol, kita pun bicara masalah keumatan. Bahkan, senda gurau tak ketinggalan.
Saat itu antum katakan,” Wah, kita ini kaya di kebun milik sendiri aja. Orang-orang yang lalu lalang di sekitar kita seolah-olah tidak ada. Gemerisik bahkan bising mereka tak mengganggu kita. Sungguh, kita ‘khusyu’ dengan acara kita.”
Nah, khusyu dalam shalat pun begitu. Kita sadar sedang shalat, ada imam dan makmum, surat yang dibaca apa, mungkin ada mobil ambulance lewat pun terdengar serinenya. Tapi, semua itu tidak mengganggu shalat kita. Adanya sama dengan tidak adanya. Seakan-akan kita tengah sendiri di dalam keramaian yang memang kita sadari. Sebab, ketika itu, kita sedang asyik dalam kenikmatan menyembah Allah Zat Maha Perkasa.
Memperoleh khusyu tidak bisa dengan logika an sich. Persoalan khusyu adalah persoalan rasa. Secara bahasa, khusyu artinya tunduk, takluk, menyerah, dan khidmat. Sekali lagi, semua ini adalah rasa. Jadi, keberhasilan memperoleh khusyu dalam shalat ditentukan oleh kehadiran dan penyertaan rasa ketika melakukannya. Rasa adalah kunci kenikmatan khusyu. Tanpa rasa segala hal akan hambar.
Coba saja apa yang terjadi ketika kita makan ditunggu jemputan. Klakson sudah berbunyi berkali-kali. Kita makan hanya sekadar makan. Kenikmatan pun tak terasa. Makanan yang sama kan berbeda rasanya bila dimakan sambil santai. Ketika makan kita nikmati aromanya, tekstur, dan manis-asam-pedasnya. Apalagi bila dimakan bersama keluarga di villa suatu pegunungan. Pohon-pohon pinus pun dihadirkan sejak keberangkatan. Kenikmatan akan terasa luar biasa. Padahal, makanannya sana. Kita akan mengatakan,”Alhamdulillah, nikmat sekali makanannya!” Inilah menghadirkan dasyatnya menghadirkan rasa.
Maka, begitupun dengan shalat. Bila wudhu, takbir, ruku, I’tidal, sujud, duduk, tahiyat, dan gerakan lainnya hanya sekadar gerakan, khusyu dijamin tak akan hadir. Sebaliknya, bila setiap gerakan disertai rasa maka kekhusyuan tidak perlu repot dicari. Ia akan datang sendiri. Waallahu’alam []
Sumber: Motivasi Nafsiyah Pengokoh Jiwa Nan Gundah. M. Rahmat Kurnia, M. Iwan Januar. Bogor: Al Azhar Fresh Zone