Kurang tepat kalau kita mengira bahwa menyampaikan agama ini harus selalu lembut, lirih, dan bersenyam-senyum.
Ada tuntunan tentang khuthbah misalnya, seperti yang disampaikan Sayyidina Jabir Radhiyallahu ‘Anh:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ
Bila sedang berkhutbah, Rasulullah ﷺ memerah matanya, suaranya keras dan kemarahan beliau memuncak, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan dari musuh. (HR. Muslim).
“Hadits ini menjadi dalil”, catat Imam An Nawawi dalam Syarah-nya, “Bahwa seorang khatib dianjurkan membaguskan arti pentingnya khutbah, mengeraskan suara, dan menegaskan perkataan, serta berintonasi yang sesuai dengan karakter tema, baik yang bersifat targhîb (janji) maupun tarhîb (ancaman). Dan mungkin saja kemarahan beliau muncul saat memperingatkan perkara yang besar atau urusan yang penting.”
Tapi keliru pula mengira bahwa semakin galak seseorang saat berkhuthbah berarti semakin kokoh manhajnya, atau semakin kasar dan keras berarti semakin dahsyat imannya. Kekuatan penyampaian Nabi ﷺ dan para salafus shalih, pertama-tama bukan di situ kiranya. Seperti kisah berikut ini.
Adalah kota Bashrah ketika itu dijejali ribuan budak. Karena banyaknya, perlakuan para majikan pada mereka menjadi tak sebaik dahulu. Masih amat manusiawi, tapi rasanya ada kehangatan yang hilang.
Maka para hamba sahaya itu menghadap pada Imam Hasan Al Bashri. “Ya Imam”, ujar mereka, “Mohon pada Jumat depan khuthbahkanlah keutamaan membebaskan budak dan memperlakukan sahaya dengan baik.”
Sang Imam mengangguk sendu. “Insyaallah”, ujar beliau, “Doakanlah agar aku mampu.”
Tapi Jumat itu mereka kecewa. Sang Imam mengkhuthbahkan tema yang jauh berbeda. Saat menggugatnya, mereka dijawab dengan wajah sedih, “Mohon bersabar ya. Semoga dapat kusampaikan di pekan berikutnya.”
Tapi pekan berikutnya, dan pekan berikutnya lagi tema yang dinanti itu tak kunjung tergemakan dari mimbar Imam Hasan Al Bashri. Barulah di pekan keempat, di Jumat yang syahdu itu tersimak kata-kata yang amat mantap tentang keutamaan membebaskan budak dan memperlakukan sahaya dengan baik.
Seruan itu bersambut cepat. Hari itu selepas shalat Jumat, kota Bashrah menyaksikan bebasnya ribuan budak.
Para sahaya kembali menghadap dan bertanya, “Mengapa baru sekarang ini, setelah lama kami menanti?”
“Maafkan aku”, jawab tabi’in agung itu. “Aku sudah berusaha keras mengumpulkan uang sejak kalian memintaku. Tapi uang yang kukumpulkan baru cukup untuk membeli budak kemarin ini saja. Alhamdulillah setelah seharian selesai tugasnya dan selesai pula tugasku padanya, hari ini menjelang berkhuthbah dia kubebaskan.”
Tertempelak rasanya tiap kali menyimak hidup para Salafush Shalih. []