Oleh: Ust. Deden A. Herdiansyah, M.Hum
KHUTBAH PERTAMA
لْحَمْدُللهِالَّذِيخَلَقَالْمَوْتَوَالْحَيَاةَلِيَبْلُوَكُمْأَيُّكُمْأَحْسَنُعَمَلًا،وَوَعَدَالْـمُحْسِنِيْنَمِنَالْـمُؤْمِنِيْنَأَجْرًاعَظِيْمًا.
أَشْهَدُأَنْلاَاِلـهَإلاَّاللهوَحْدَهُلَاشَرِيْكَلَه،وَأَشْهَدُأَنَّمُحَمَّدًاعَبْدُهُوَرَسُولُهُ،وَحَبِيْبُهُوَخَلِيْلُهُ،صَلَّىاللهُعَلَيْه،وَعَلَىآلِهِوَأَصْحَابِهِ،وَمَنْتَبِعَهُمْإِلَىيَوْمِالدِّيْن،وَسَلَّمَتَسْلِيْمًاكَثِيْرًا.
أمّابَعْدُ،فَيَاعِبَادَاللهِ،أُوْصِيْكُمْوَنَفْسِيبِتَقْوَىاللهِفَقَدْفَازَالْـمُتَّقُوْن،قَالَاللهُجَلَّفِيعُلَاه:
(يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُوااتَّقُوااللَّهَوَلْتَنْظُرْنَفْسٌمَاقَدَّمَتْلِغَدٍ،وَاتَّقُوااللَّهَإِنَّاللَّهَخَبِيرٌبِمَاتَعْمَلُونَ﴾
Jamaah shalat Jum’at rahimakumullah…
Kesadaran bahwa kita makhluk lemah yang kerap kali berbuat kesalahan adalah sebuah hal penting. Itu pertanda bahwa sinyal iman kita masih berfungsi dengan baik. Bahwa hati kita masih hidup. Karena di antara tanda ketakwaan seorang hamba ialah ia selalu melihat kesalahan-kesalahannya pada saat ia mengingat Allah azza wajalla.
إِنَّالَّذِينَاتَّقَوْاإِذَامَسَّهُمْطَائِفٌمِنَالشَّيْطَانِتَذَكَّرُوافَإِذَاهُمْمُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka digoda oleh setan, mereka pun segera ingat kepada Allah. Maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (QS. Al-A’raf: 201).
Sebagai manusia kita memang terlahir bersama keterbatasan. Allah memang telah menakdirkan manusia sebagai makhluk yang lemah, yang zalim terhadap diri sendiri, yang selalu berkeluh kesah dan cepat berputus asa. Keterbatasan itulah yang kerapkali menjatuhkan kita pada bermacam kesalahan. Tetapi, dalam keterbatasan itu Allah tetap menginginkan kita untuk berislam dengan baik. Jadi, memahami keterbatasan diri adalah bagian dari perintah Islam, sedangkan mengatasi keterbatasan itu adalah konsekuensinya.
Sungguh Allah Maha Tahu tentang keterbatasan-keterbatasan kita. Karenanya Allah berpesan agar kita bertakwa kepada-Nya sesuai kemampuan kita. Allah tahu bahwa takwa kita tidak akan pernah menjadi sempurna. Tetapi ketakwaan itu tetap menjadi tuntutan, dengan mengoptimalkan usaha dan kemampuan yang dimiliki.
Di tengah kesadaran akan keterbatasan dan kesalahan diri itulah kita berikhtiar untuk memperbarui diri. Menata ulang sekaligus mengembangkan kualitas diri, lalu merumuskan langkah-langkah untuk merevisi arah hidup kita. Inilah titik yang menentukan kelanjutan hidup kita; apakah terus melangkah dalam perbaikan diri atau berpuas dengan capaian hidup saat ini yang tidak seberapa.
Tentu saja seorang mukmin memilih untuk terus melanjutkan langkah dalam perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Karena ia sadar bahwa puncak kualitas diri masih harus diperjuangkan dalam proses yang panjang dan melelahkan. Seperti yang diungkapkan Muhammad Natsir:
“Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa yang menempuh ujian yang sakit dan pedih, tapi tidak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada suatu masa akan mencapai satu tingkat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa lain.”
Maka, langkah pertama dalam ikhtiar pembaruan diri ini adalah muhasabah. Memeriksa kembali sejauh mana kita telah melangkah dalam kehidupan. “Hasibu anfusakum qabla an tuhasabu”, “koreksilah diri kalian,” kata Umar bin Khattab, “sebelum kalian dikoreksi oleh Allah.”
Perjalanan hidup ini teramat panjang. Kadang kita membutuhkan jeda untuk sekadar memastikan apakah ada yang perlu diperbaiki, diluruskan atau bahkan diubah total. Inilah jalan orang-orang cerdas, karena ia tidak mudah terbawa arus dunia yang menipu. Di saat orang lain sibuk berhias diri dengan warna dunia, justru ia tengah khusyuk mempersiapkan akhiratnya. Rasul bersabda:
الْكَيِّسُمَنْدَانَنَفْسَهُوَعَمِلَلِمَابَعْدَالْمَوْتِ(رواهالترمذيوابنماجه)
“Orang yang cerdas itu adalah orang yang menghitung dirinya dan berbuat untuk sesuatu yang ada setelah mati” (H.R at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Dalam muhasabah kita, jika menemukan kesalahan dan kemaksiatan dalam tapak-tapak perjalanan, maka kembalilah pada Allah dalam pertaubatan. Melepaskan beban-beban dosa yang akan menghambat perjalanan kita menuju kualitas diri yang lebih baik.
Taubat adalah cara kembali pada keaslian kita sebagai makhluk pilihan. Sejatinya manusia memang telah Allah muliakan sedemikian rupa.
وَلَقَدْكَرَّمْنَابَنِيآَدَمَوَحَمَلْنَاهُمْفِيالْبَرِّوَالْبَحْرِوَرَزَقْنَاهُمْمِنَالطَّيِّبَاتِوَفَضَّلْنَاهُمْعَلَىكَثِيرٍمِمَّنْخَلَقْنَاتَفْضِيلًا
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.” (QS. Al-Isra`: 70).
Tetapi, kemuliaan itu seringkali tertutupi lumpur dosa pada sebagian besar manusia. Hanya taubat yang mampu membersihkannya. Mengembalikan kita pada kemuliaan sebagai hamba Allah. Meninggikan derajat kita di atas makhluk lainnya.
Begitu kerdilnya diri ini jika berbanding dengan Rasulullah yang memohon ampun pada Allah tak kurang dari 70 kali di setiap harinya. Jika dibandingkan dengan Umar yang pingsan, tak sadarkan diri, karena mengenang kesalahannya di masa lalu. Juga orang-orang yang beriman yang mengalirkan air matanya untuk menangisi dosa-dosa. Juga jika dibandingkan dengan Sufyan Ats-Tsauri yang mengatakan,
“Suatu hari aku duduk menghitung dosa-dosaku. Ternyata jumlahnya 21 ribu dosa. Itu dosa yang aku ingat. Bagaimana dengan dosa yang telah dihitung Allah tapi aku lupa terhadap dosa itu? Demi Allah, aku akan melakukan istighfar untuk satu per satu dosa yang akan aku lakukan.”
Sungguh, taubat adalah kemuliaan, karena ia mengembalikan manusia pada kesejatiannya. Tak peduli sejauh mana kita telah melangkah dalam kesalahan-kesalahan, kembalilah pada cinta Allah dengan air mata penyesalan. Allah akan sangat bahagia mendengar rintih pertaubatan hamba-Nya.
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah…
Setelah berhasil melepaskan beban-beban dosa yang menghambat ikhtiar pembaruan diri, maka selanjutnya kita bersegera menuju Allah dengan penuh kesungguhan.
فَفِرُّواإِلَىاللَّهِإِنِّيلَكُمْمِنْهُنَذِيرٌمُبِينٌ
Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50).
Bermuhasabah tidak akan ada artinya jika tidak mampu mengantarkan pada tahap yang lebih baik. “Maka, ikutilah setelah keburukan dengan kebaikan,” sabda Rasul, “maka kebaikan itu akan menghapuskan keburukan.” Karenanya, yang terpenting setelahhadirnya kesadaran adalah menata diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam semua sisinya. Dimulai dengan merencanakan program peningkatan diri. Lalu melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan diakhiri dengan evaluasi; apakah ada peningkatan kualitas diri kita, stagnan atau bahkan menurun.
Pada akhirnya kita harus membiarkan diri kita bergerak dari satu kebaikan menuju kebaikan yang lebih tinggi. Tidak berpuas diri dengan amal yang mungkin tidak seberapa. Karena tidak ada jalan lain untuk dihargai Allah kecuali dengan terus menerus meningkatkan kualitas diri, baik dalam wilayah eksistensi diri maupun ekspansi aksi.
Eksistensi diri adalah tentang iman dan kesejatian diri. Iman harus terus ditingkatkan agar menjadi energi yang menggerakkan semua potensi baik yang ada dalam diri. Sebagaimana iman telah menghidupkan potensi budak berkulit hitam bernama Bilal, seorang buta bernama Ibnu Ummi Maktum, perampok dari Bani Ghifar bernama Abu Dzar. Awalnya mereka bukanlah siapa-siapa. Tapi sejak iman bersemayam di hati mereka, semerbaklah aroma kemuliaan dalam pribadi mereka. Dalam sejarah, nama mereka ditulis dengan tinta emas, sebagai shahabat mulia di sisi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Sedangkan ekspansi aksi terkait dengan ruang amal kita sebagai bagian dari masyarakat dunia. Ini tentang karya dan kontribusi. Keduanya adalah prasasti amal yang kita ukir dalam sejarah hidup. Tetapi karya hanya akan abadi dikenang oleh generasi jika memiliki kemanfaatan dan pengaruh yang besar. Karena itu kita perlu memastikan bahwa karya kita adalah hasil dari perjuangan dan pengorbanan yang maksimal, setelah mengeksplorasi segenap potensi, energi, kekuatan dan kemampuan yang dimiliki. Rasulullah bersabada:
إِنَّاللهَعَزَّوَجَلَّيُحِبُّإِذَاعَمِلَأَحَدُكُمْعَمَلاًأَنْيُتْقِنَهُ(رواهالطبراني)
“Sungguh Allah mencintai seseorang yang jika dia beramal, dia melakukannya dengan itqan (profesional).” (H.R. ath-Thabrani)
Fudhail bin ’Iyadh menjelaskan kalimat “ahsanu ’amala” (paling baik amalnya) dalam surat Al-Mulk ayat ke-2, bermakna amal yang paling ikhlas dan yang paling tepat. Jadi, marilah berusaha untuk memberikan amal dan karya yang terbaik agar orang-orang beriman juga turut menjadi saksi atas kiprah positif kita di dunia. Allah berfirman:
وَقُلِاعْمَلُوافَسَيَرَىاللَّهُعَمَلَكُمْوَرَسُولُهُوَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105).
Dan yang tak kalah penting adalah senantiasa menghidupkan kesadaran untuk memperbarui diri di setiap detik bergulirnya waktu. Agar waktu yang terus berjalan ini mengantarkan kita menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang dikasihi Allah subhanahu wataala. Bukan sebaliknya.
بَارَكَاللهُلِيْوَلَكُمْفِيالْقُرْآنِالْعَظِيْمِ،وَنَفَعَنِيْوَإِيَّاكُمْبِمَافِيْهِمِنَاْلآيَاتِوَالذِّكْرِالْحَكِيْم،أَقُوْلُقَوْلِيْهَذَاوَأَسْتَغْفِرُاللهَفَاسْتَغْفِرُوْهُإِنّهُهُوَالْغَفُوْرُالرّحِيْم.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُلِلَّهِالَّذِيْأَمَرَنَابِالاِعْتِصَامِبِحَبْلِاللهِالْمَتِيْنِ. أَشْهَدُأَنْلاَإِلَهَإِلاَّاللهُوَحْدَهُلاَشَرِيْكَلَهُ،إِيَّاهُنَعْبُدُوَإِيَّاهُنَسْتَعِيْن،وَأَشْهَدُأَنَّمُحَمَّدًاعَبْدُهُوَرَسُوْلُهُاَلْمَبْعُوْثُرَحْمَةًلِلْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّصَلِّعَلَىمُحَمَّدٍوَعَلَىآلِهِوَأَصْحَابِهِأَجْمَعِيْنَ.
عِبَادَالله،اِتَّقُوااللهَمَااسْتَطَعْتُمْ،وَسَارِعُوْاإِلَىمَغْفِرَةِرَبِّالْعَالَمِيْن
إِنَّاللهَوَمَلاَئِكَتَهُيُصَلُّوْنَعَلَىالنَّبِيِّ،يَاأَيُّهاَالَّذِيْنَءَامَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِوَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّصَلِّوَسَلِّمْوَبَارِكْعَلَىمُحَمَّدٍوَعَلَىآلِهِوَأَصْحَابِهِوَقَرَابَتِهِوَأَزْوَاجِهِوَذُرِّيَّاتِهِأَجْمَعِيْنَ.
اَللَّهُمَّاغْفِرْلِلْمُسْلِمِيْنَوَالْمُسْلِمَاتِوَالْمُؤْمِنِيْنَوَالْمُؤْمِنَاتِاْلأَحْيَاءِمِنْهُمْوَاْلأَمْوَاتِ،إِنَّكَسَمِيْعٌقَرِيْبٌمُجِيْبُالدَّعَوَاتِ،وَيَاقَاضِيَالْحَاجَاتِ.
اَللَّهُمَّلاَتَدَعْلَنَاذَنْبًاإِلاَّغَفَرْتَه،وَلاَهَمًّاإِلاَّفَرَّجْتَه،وَلاَدَيْنًاإِلاَّقَضَيْتَه،وَلاَحَاجَةًمِنْحَوَائِجِالدُّنْيَاوَاْلآخِرَةِإِلاَّقَضَيْتَهَايَاأَرْحَمَالرَّاحِمِيْنَ.
رَبَّنَااغْفِرْلَنَاوَلإِخْوَانِنَاالَّذِيْنَسَبَقُوْنَابِاْلإِيْمَانِ،وَلاَتَجْعَلْفِيْقُلُوْبِنَاغِلاًّلِّلَّذِيْنَءَامَنُوْارَبَّنَاإِنَّكَرَءُوْفٌرَّحِيْمٌ.
اَللَّهُمَّأَصْلِحْجَمِيْعَوُلاَةَالْمُسْلِمِيْنَ،وَانْصُرِاْلإِسْلاَمَوَالْمُسْلِمِيْنَ،وَأَهْلِكِالْكَفَرَةَوَالْمُشْرِكِيْنَوَأَعْلِكَلِمَتَكَإِلَىيَوْمِالدِّيْنِ.
رَبَّنَاآتِنَافِيالدُّنْيَاحَسَنَةًوَفِيالآخِرَةِحَسَنَةًوَقِنَاعَذَابَالنَّارِ.
عِبَادَاللهِ،إِنَّاللهَيَأْمُرُكُمْبِالْعَدْلِوَاْلإِحْسَان،وَإِيتَآءِذِيالْقُرْبَىوَيَنْهَىعَنِالْفَحْشَآءِوَالْمُنكَرِوَالْبَغْيِيَعِظُكُمْلَعَلَّكُمْتَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوااللهَالْعَظِيْمَيَذْكُرْكُمْ،وَادْعُوْهُيَسْتَجِبْلَكُمْ،وَلَذِكْرُاللهِأَكْبَرُ.
أَقِيْمُوْاالصَّلَاة
SUMBER: IKADI.OR.ID