Oleh: Ahmad Supardi
BEGITU melintas di depan Masjid Kampus Hijau itu, aku gemar mencongak keatas halaman Masjid sambil melihat Pohon Kiara Payung yang tua renta. Yakinku umurnya ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Bagaimana tidak, kulitnya yang tebal berkeriput hampir mengelupas dan beranting banyak tapi tak berdaun.
Dahan ranting hijau karena lumut, lumut lebat nan subur. Sesekali aku mencari burung hantu yang mungkin nangkring di sela-sela reranting.
Buatku pohon yang reot dan tua rentah adalah daya tarik tersendiri, sesekali mencari hal ikhwal yang aneh dan mistis.
Harapku melihat binatang atau makhluk lainnya yang tertinggal oleh waktu di pohon itu, hal yang tua selain bukti sejarah hidup yang panjang, juga adalah lembaran-lembaran kisah apabila kita mengerti, dan aku sangat ingin mengerti.
Suatu malam, sesudah Isya’. Aku duduk di beranda Masjid sambil meranap pohon tua itu. Berpuluh ratus kunang-kunang terbang dari pohon itu, sungguh indah sekali.
Dengan hati berbahagia kudekati kunang-kunang itu, lalu kusibakkan kulit Kiara Payung dan terbanglah berjuta kunang-kunang mengitari pohon tua ini. Tak ada suara malam itu, kecuali rintik dan rintik.
Sedari petang sebelum malam itu, gerimis terus mericis. Cuma gerimis, alam tak mau hujan. Gerimis tipis, jadilah aku mandi gerimis sambil bersabun sejuta kunang-kunang yang terbang berhamburan bak kapas diterpah angin bahkan bak bidadari laron-laron yang mencari cahaya diakhir hayatnya.
“Mengapa kau memanggilku?” seberkas suara bertanya padaku.
Tak seorangpun di sekelilingku.
“Mengapa kau memanggilku?” satu tanya dari satu kunang-kunang paling terang yang mendekati wajahku.
“Kau mengajakku bicara?” jawabku ragu.
Dari dalam keriput pohon kiara payung kudengar rebutan tanya padaku.
Langit mendung. Aku terasa gila.
Memang selama ini aku menyukai misteri kunang-kunang. Dalam cerita dongeng-dongeng, kunang-kunang adalah jelmaan roh gentayangan yang risau karena cinta tak tersampaikan, dalam perasaannya ia ingin selalu menerangi malam gelap sang kekasih. Itulah di hewan ini bercahaya, yaitu cahaya rindu. Bahkan dongeng dari desa tetanggaku menuturkan kunang-kunang merupakan roh ibu-ibu yang meninggal ketika baru melahirkan, sederhananya mati karena melahirkan dan anaknya tetap hidup.
Ia sangat mengharapkan membesarkan anaknya dan menghampiri anaknya setiap waktu, syahdan, berubahlah ia menjadi kunang-kunang dan menghampiri anaknya apabila ia rindu.
Di kisah dongeng lainnya adalah bahwa kunang-kunang merupakan kuku mayat yang tak tertanam di bumi ini.
Sungguh tragis dongeng-dongeng itu.
Satu yang paling kukagumi dari dongeng kunang-kunang itu, bahwa kunang-kunang adalah kenang-kenangan.
###
Satu tahun lalu, ketika aku baru pertama menginjakkan kaki di kampus ini, percakapan mistis seolah aku bercengkrama dengan kakek tua, di bawah pohon tua Kiara
Payung itu.
“Umurku sudah ratusan tahun lebih anak muda,” pancingnya.
“Setiap keriput di kulit ariku sampai aliran lambat darahku adalah alkisah, aku adalah saksi selama ini,” Ia menahan tanganku sambil berselonjor di akar-akar tua Kiara Payung itu. Terasa dingin tangannya sampai kehatiku.
“Kakek siapa?” datar jawabku. Datar adalah kebiasaanku, kata teman SMA dulu, aku manusia tanpa ekspresi.
“Aku tahu engkau, anak muda,” suara bijaksana kakek dengan tenang.
“Anak muda. Sewaktu ketika awal mula kampus ini berdiri, aku melihat bujang kencur dari kampung antah berantah. Badannya kurus dan kecil, berambut ikal berantakan, berkulit sawo matang, bermata sendu dan berpakaian seolah tak perna ganti saban hari, ia tidak bisa dikatakan bodoh.”
“Suatu waktu, terdengar kabar bahwa ayahnya sudah satu bulan tak pulang kerumah, dari sawah yang berjarak berpuluh kilometer dari kampung halamannya,” Kakek menghela nafas.
“Sang ibulah yang memberi kabar kepada bujang kencur itu lewat teman sekampungnya yang kebetulan pulang kampung,” Cerita mengalir dari mulut kakek itu. Tak peduli aku dingin.
“Anak muda. Bujang itu resah seresah-resahnya, sedari itu, ia selalu bersandar pada Kiara Payung ini sampai petang. Sesekali ia tersedu sedan menangisi kabar yang membuat telinga merah dan hati biru itu. Tebakku bahwa ia takut kehilangan ayahnya yang sebagai sandaran bahkan gantungan tempatnya bertahan,” Sejenak kakek diam dan memejamkan mata. Aku pun mulai tertarik dengan cerita kakek ini.
“Dan ia mulai mengadu padaku di bawah pohon Kiara Payung ini. Tetapi dipetang Senin gerimis. Sesudah Sholat Ashar berjema’ah. Bujang itu berdiri didepan seluruh teman sekelasnya di bawah pohon Kiara Payung ini, mereka melingkar mendengar cerita bujang tentang ikhwal ayahnya dan ia akan berhenti dari kuliah. Tak sedikit teman sekelasnya yang mengabaykan, dan ada juga yang memberi sedikit uang saku mereka untuk ongkos pulang bujang itu, mungkin perasaanlah yang membuat mereka berinisiatif berbagi kasih. Dan terakhir dipetang Senin yang menggerimis, salam maaf dan perpisahan lekat diantara genggaman lima jari mereka bertanda sahabat. Bujang pun pulang dengan lambaian tangan teman-temannya,” Kakek menghelah nafas panjang.
“Sejak hari senin petang itu, bujang tak pernah datang teruntuk kuliah atau cuma silatuhrahmi. Lambaian tangan di gerimis petang itu adalah yang terakhir. Tersiar kabar, kini bujang itu telah menjadi petani yang menebar benih padi di sawah peninggalan ayahnya,” suara kakek berhenti.
Kakek itu tak melanjutkan ceritanya, ia diam, aku diam.
Diam.
“Mengapa kauceritakan cerita ini padaku, kek?” tanyaku penasaran.
Diam. Kakek masih diam tak menghiraukan penasaranku.
“Mengapa kauceritakan cerita ini padaku, kek?” tanya ulangku karena penasaran.
Diam.
“Kek, kakek ini siapa?” aku mulai ragu.
“Kau adalah penziarah keduaku setelah pemuda itu, sejak petang senin gerimis itu aku berubah menjadi kuburan dan tak seorang pun menziarahiku kecuali kunang-kunang, kenang-kenanganku sendiri,” balas kakek.
“Ziarah?, apa maksud kek,”
“Anak muda. Aku adalah kuburan yang menguburkan pikiranku di dalam Kiara Payung ini,” jelasnya.
“Apa maksukmu?”
“Anak muda, aku adalah manusia yang seumur hidup, hidup dalam pikiranku. Aku berpikir sampai ke dasar, hakekat murni, suara hati, bahkan meresapi angin yang membuatku sepi. Aku berpikir tentang suara tanpa gema. Sampai aku menjadi kuburan, kuburan tanpa liang lahat. Sepi sendirian meresapi kebenaran. Tak satu orang pun perna menziarahi aku yang sunyi. Dan kau anak muda!, mengapa kau menziarahiku?” tatap kakek nanar menatapku.
“Begitukah?, Aku sedikitpun tak paham dengan maksud yang kakek ucapkan,” jawab raguku.
“Tapi satu yang kumengerti, perihal ziarah. Ziarah adalah tempat aku mengenang ayahku.” Bibirku pucat karena berpikir mencerna percakapan ini.
“Apa?” kakek bertanya dingin.
“Ziarah, aku sudah biasa berziarah, karena semenjak aku lahir, ayahku telah menjadi kuburan sesungguhnya. Aku ziarah pada rindu, sahdu pada kenangan peninggalan ayahku,” kenangku.
Kakek tersenyum.
Ia membelakangiku dan berjalan kecil kebelakang pohon kiara payung. Dan ia lambat-lambat terus kebelakang pohon.
Kumendongak keatas, melihat ranting pohon paling ujung di barat pohon, sehelai daun kuning Kiara Payung jatuh, dan kuiringi goyangan daun di udara yang dibawa angin nan melayang itu, goyangan kiri kanan yang lambat membuat sahdu dan sampailah jatuh pas dihidungku.
Kutunggu sampai beberapa menit tapi kakek tak juga muncul.
Dan sampai kini, kakek tak muncul lagi.
Dan aku tetap menunggu. []
Kitaro- Mirage. Palembang, 20-22 agustus 2013
Biodata: Ahmad Supardi lahir 22 Juli 1993. Karyanya dimuat di Radar Seni, Majalah Ukhuwah, Bulettin Fokaris, Tinta dan Musi. Puisinya juga masuk nominasi juara lomba puisi Milad FLP Sum-Sel 2013. Kini belajar di UIN Raden Fatah Palembang, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Jurnalistik dan Pemimpin Umum di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ukhuwah. No. Hp. 0896 7753 5329 atau di email supardiahmad045@gmail.com