Oleh: Arief Siddiq Razaan
CINTAMU membusuk dua purnama, sebab menunggumu tanpa ikatan hanya menjadikanku seorang pesakitan
berulang kali aku berujar; “Menikahlah denganku,” tetapi jawabmu tunggu hingga siap lahir-batin untuk sementara ini cukuplah pacaran
semula aku mengangguk sepenuh takzim dengan satu alasan purba bahwa aku terlanjur mencintaimu
hingga pada akhirnya kusadari kerdil sekali kelelakianmu yang mengikat langkahku menemu jodoh terbaik hanya dengan pacaran
ini memang kebodohanku, terlalu bodoh diperdaya bujuk rayumu yang menyamakan pacaran dengan pernikahan sehingga harus kutebus dengan kesetiaan
padahal banyak lelaki yang mendekatiku, berniat menikahiku dan memantaskan diri untuk bersanding denganku, namun semua kuabaikan karena aku selalu terjebak pada perasaan
perasaan bersalah jika aku memilih lelaki lain untuk jadi pendamping hidupku sedangkan saat ini aku masih menjadi pacarmu
aku sudah lelah jadi perempuan dungu; menunggu untuk sesuatu yang tak pasti, sebab tiap kali kutanya perihal pernikahan, kau selalu cari alasan
jika memang mencintaiku tak ada alasan membuatku harus menunggu dua purnama untuk menghalalkanku menjadi pendamping hidupmu
pikirkanlah itu, bukankah lelaki diberi kelebihan akal sedangkan wanita memiliki kelebihan rasa tetapi aku merasa dirimu hanya menggunakan akal bulusmu untuk membodohiku — sungguh engkau salah kaprah memanfaatkan kelebihan akalmu
membodohi orang yang kau cintai dengan alasan yang tidak masuk akal apalagi menyangkut kesiapan lahir dan batin tanpa konsep yang jelas itu jelas tindakan terstruktur, masif dan terencana
terstruktur bahwa hanya dengan modal kata-kata kau mampu mengikatku untuk setia, masif karena gerakan gencarmu meyakinkanku lewat kata-kata begitu luar biasa, terencana sebab aku seolah cadangan yang siap pakai untuk berbagi keluh kesah meski belum menjadi istri yang sah secara agama
aku mau bertanya yang dikatakan siap lahir-batin itu seperti apa? punya rumah mewah, harta berlimpah, dirimu jadi pejabat, atau seperti apa? jadi jelas aku harus bersikap apa
jika saat ini dirimu masih pengangguran maka menunggumu jadi konglomerat serupa mengharap seribu candi dibangun dalam satu malam, dan apakah itu mungkin sedangkan dirimu cari kerja sama masih belum becus, uang masih minta dari orang tua
jika alasanmu belum punya modal nikah, coba pikirkanlah selama kita menjalin hubungan berapa kali dalam satu Minggu dirimu menelponku, lebih dari tiga kali jika dihitung itu berkisar sepuluh ribu rupiah, jika dikalikan sekian tahun kita pacaran, maka sudah lebih dari cukup untuk jadi mahar, lalu kerap juga dirimu mentraktirku makan, satu porsi sekurang-kurangnya lima belas ribu, kalikan sekian ratus kali dirimu mentraktirku maka cukup untuk undang penghulu, belum lagi uang bensinmu lalu kado ulang tahun yang kerap kau berikan padaku, apakah ini tidak lebih dari cukup untuk melamar dan menikahiku
sudahlah; jangan bohongi aku lagi, aku sudah lelah, katakan saja target siap lahir-batinmu kapan; satu tahun, dua tahun, atau tiga tahun? jika lebih dari empat tahun itu konyol namanya, sedangkan aku kuliah saja empat tahun sudah lulus dan dapat ilmu sedemikian banyaknya
maaf, ada luka yang tertinggal di dadaku karena kekerdilan kelelakianmu, kini aku berikan somasi; nikahi aku segera atau kita putus, sebab aku malas menunggu lelaki yang tak punya pendirian.
dunia imaji kompak_2014