Oleh: Muakhor Zakaria
Dosen Perguruan Tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Lebak, Banten
zakariamuakhor@gmail.com
“Manusia yang merasa dirinya bersih dan suci, justru akan dipandang kotor dan hina di mata Tuhan. Sedangkan, manusia yang merasa dirinya kotor, lalu memperbaiki diri, niscaya ia akan dipandang mulia di mata Tuhan.” (Abdurrahman Wahid)
SANGAT penting kebenaran kisah Al-Qomah. Kita tidak perlu lagi mempertengkarkan penafsiran tentang masa lalu, karena pada prinsipnya “Islam” (apa pun alirannya), adalah produk dari sebuah praktek atau upaya mengoneksikan Sunnah Rasul kepada para jamaah yang hidup di masa kini.
Di saat peringatan Hari Ibu beberapa waktu lalu, cukup marak artikel yang menggugat kisah tersebut laiknya dongeng Malin Kundang yang mengutuk anaknya jadi batu. Dikorek-korek mengenai kelemahan sanadnya, asal-usulnya, kesahihannya, hingga terkesan membias, bombastis, untuk tidak mengatakan “politisasi penulis”, sebagai anak yang tak pernah mau rukun dan rujuk dengan orang tuanya.
Keangkuhan kadang membuat seorang penulis dan intelektual sulit untuk bersikap “cooling down” karena gagasannya terlampau melangit dan mengangkasa, hingga merasa kesulitan untuk turun ke bumi. Sementara, generasi orang tua yang cenderung konservatif, hanya sibuk dengan urusan cari duit untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya, tanpa sempat menyerap kualitas ilmu yang baik. Bahkan, untuk sekadar mengajukan pertanyaan yang logis dan benar pun seakan mereka kesulitan.
BACA JUGA: Kisah Ridho Allah tergantung Ridho Orangtua: Al-Qamah dan Ibunya
Tidak jarang kita temukan generasi orang tua yang terkungkung dalam kebodohan, serta menderita dan merasa kesulitan untuk keluar dari belenggu kebodohan (jahiliyah) tersebut.
Kisah Al-Qomah bagi generasi orang tua tergolong kisah yang dipetik dari Sunah Rasul, dan semua sumber sunnah tak lain adalah perjalanan hidup Rasulullah itu sendiri. Padahal, kita semua tak memiliki akses langsung dengan masa lalu. Segala sesuatu yang bersifat “masa lalu” hanya hadir melalui periwayatan hadis dan memori para sahabat yang pergi dan menetap di tempat-tempat yang berbeda.
Saat mereka mengingat masa lalu, interpretasi akan bercampur dengan relevansi tentang ruang dan waktu di mana mereka hidup. Bagaimanapun, kisah Al-Qomah termasuk bagian dari transmisi sunnah, lalu dianggap nyambung dengan kultur masyarakat atau kolektivitas jamaah yang mau menerimanya. Sebagai intelektual yang bijak, tidak selayaknya kita bersikap resisten, lalu dengan pongah menolak kebenarannya dengan alasan hadits tersebut tidak berdasar (dlaif).
Bahkan, ketika suatu rumor dan kisah Israi’iliyah didengar oleh para sahabat Nabi, justru Rasulullah memperingatkan mereka agar jangan mengambil sikap ekstrim percaya, tapi juga jangan ekstrim menolak (la tushaddikuhum wala tukadzibuhum). “Sebab, boleh jadi kabar itu bohong, sementara kalian membenarkannya, tapi boleh jadi kabar itu benar sementara kalian mendustakannya,” tegas Rasulullah.
Kisah Malin Kundang
Walaupun Islam dapat dikatakan agama yang “sudah jadi”, namun dalam konteks memahami Sunnah Rasul kita harus menempatkan Islam sebagai agama yang terus berproses dan terus menjadi (process of constant becoming). Islam datang ke Nusantara, dan segala kisah di masa kenabian berinteraksi dengan lokalitas, hingga melahirkan varian-varian baru. Namun demikian, Islam tetap merupakan hasil dari pertalian antara koneksi kita ke masa lalu, serta partikularitas kultural sebuah tempat, di mana masa lalu kerasulan bisa dipahami.
Kisah-kisah semacam Al-Qomah tak lepas dari proses akulturasi budaya lokal dengan Sunnah Rasul, yang menjelma dalam konteks kekinian hingga melahirkan varian-varian yang merupakan versi yang disukai penuturnya. Dengan demikian, setiap masyarakat dan kelompok jamaah merasa memiliki Sunnah, dan tidak menganggap Islam sebagai agama yang asing, tapi seakan-akan tumbuh dari lokalitas tersebut.
Dalam kisah-kisah semacam itu, menurut Habib Husein Jafar, da’i milenial lulusan Filsafat UIN Jakarta, bahwa di setiap zaman ada utusan yang merupakan citra dari kerasulan Muhammad, di mana sifat-sifat ilahiyah sudah melekat dalam dirinya. Dalam menghadapi sosok yang polos dan lugu (seperti orang tua Al-Qomah), maka sifat-sifat arif dan bijak dari citra kenabian mesti ditampakkan dengan jelas. Apakah kita akan sanggup menghadapinya dengan tenang dan sabar, ataukah bersikap intoleran dan skeptis yang kelak menimbulkan resistensi dan penolakan.
Jadi, ada semacam teladan melalui memori otot (muscle memory), bahwa sebagian orang mempelajari Sunah Rasul bukan dari kitab-kitab agama melainkan langsung dari sikap dan perilaku yang dicontohkan sehari-hari. Dapat juga dikatakan sebagai Sunnah yang mewujud dalam kehidupan, laiknya seorang murid yang polos dan lugu yang terus-menerus menghadiri pengajian Habib Luthfi di Pekalongan, lalu ketika ditanya apakah agamanya, kemudian sang murid menjawab: “Agama saya seperti sahabat Nabi yang datang dari pedalaman, lalu berhusnudzon bahwa Muhammad adalah Insan Kamil. Saya pun berprasangka positif pada Habib Luthfi bahwa beliau pun termasuk pembawa risalah, lalu saya ikuti saja apa yang beliau contohkan.”
Untuk itu, pilihan terbaik untuk menyikapi perdebatan ngalor ngidul perihal kebenaran dan ketidakbenaran kisah Al-Qomah, saya akan memilih versi yang lebih mendekati pesan-pesan kebajikan dan kearifan yang diteladankan oleh kehidupan Rasulullah itu sendiri.
Versi Hafis Azhari
Dalam suatu materi tentang penyampaian kisah-kisah Rasul di Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten, Hafis Azhari menegaskan di hadapan para hadirin yang terdiri dari para orang tua sebagai wali santri, agar mereka sanggup mengkritisi kisah Al-Qomah dengan cermat, bahwa di dalamnya bukan saja mengandung pesan moral kepada pihak anak yang berbeda paham dengan generasi orang tua. Tapi sekaligus mengkrisi perilaku orang tua yang cenderung kolot dan konservatif dalam menyikapi anak-anaknya.
Dikutip dari kitab Al-Kabair karya adz-Dzahabi, Hafis Azhari menafsirkan proses kematian Al-Qomah secara bebas, bahwa ketika sang Ibu tak mau memaafkan anaknya hingga kesulitan untuk melafalkan “La ilaha illah” menjelang kematiannya, di situ terkandung teguran Rasulullah kepada sikap orang tua yang keras dan konservatif tersebut.
“Apa yang membuat Ibu tidak rela kepada Al-Qomah?” tanya Rasulullah.
“Karena dia lebih mementingkan istrinya daripada ibunya sendiri,” jawab sang Ibu membela diri.
“Lalu, bagaimana menurut pendapat Ibu mengenai anak ibu, bukankah ia seorang yang baik?”
“Ya, dia memang baik dan taat beribadah, tapi dia durhaka kepadaku, karena itu saya merasa tak perlu memaafkannya.”
Rasulullah berusaha bersikap politis, mengingat keras-kepala dan kolotnya pandangan sang Ibu, hingga di hadapan Rasulullah sendiri, ia masih belum bisa memaafkan anak kandungnya sendiri.
Lalu, Rasul pun memanggil Bilal, dan memerintahkannya agar mengumpulkan kayu bakar yang sekiranya cukup untuk membuat gundukan api unggun.
“Untuk apa kayu bakar?” tanya Ibu Al-Qomah heran.
“Kalau Ibu tak mau memaafkan anak Ibu, biarlah mayatnya nanti akan kami bakar, bagaimana pendapat Ibu?”
“Waduh, jangan ya Rasulullah… dia itu anakku… bagaimanapun Al-Qomah itu darah dagingku sendiri….”
BACA JUGA: Lihatlah, Apa Al-Qomah Bisa Ucapkan Syahadat?
Semua yang hadir diam terpaku. Para sahabat memahami sikap politis yang dipertontonkan Rasulullah, bahwa manusia harus memiliki jiwa pemaaf, bahkan terhadap musuh sekalipun, apalagi hanya berbeda mazhab dan pandangan dengan anak kandungnya sendiri.
Di sisi lain, adalah kurang bijak bagi seorang anak untuk memusuhi orang tuanya, biarpun berperilaku kolot dan konservatif sekalipun. Apalagi, jika orang tuanya telah berjuang mati-matian mencari nafkah, membanting tulang selama puluhan tahun untuk membesarkan dan membiayai sang anak ke jenjang pendidikan tinggi. Lalu, setelah sang anak menjadi penulis dan intelektual, punya penghasilan sendiri, wajarkah bagi sang anak bersikap egois dan menjauhi orang tuanya?
Secara implisit, terkandung juga pesan universal bahwa di Jazirah Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, sudah terdapat kepercayaan masyarakat, bahwa menguburkan mayat di bawah tanah adalah cara-cara yang lebih beradab ketimbang dengan membakarnya sebagaimana ajaran Hinduisme, atau meletakkannya di atas bukit hingga termakan oleh cuaca sebagaimana ajaran Zoroaster (Majusi). []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.