Nabi Hussain telah berutang nyawa pada sebuah jeriken minyak plastik berwarna kuning. Anak laki-laki Rohingya berusia 13 tahun ini tidak dapat berenang dan bahkan belum pernah melihat laut sebelum ia melarikan diri dari desanya di Myanmar.
Dengan mengapung di atas jeriken kosong itu, Nabi berjuang menyeberangi laut dengan jarak tempuh sekitar 2,5 mil, sampai ke Bangladesh. Dalam sepekan, lebih dari tiga lusin anak laki-laki dan laki-laki muda telah mengubah jeriken minyak menjadi rakit untuk menyeberangi mulut Sungai Naf dan sampai ke pantai Shah Porir Dwip di Bangladesh.
“Saya sangat takut mati. Saya pikir ini akan menjadi hari terakhir saya,” ujar Nabi, yang mengenakan kaus berkerah garis-garis dan dhoti kotak-kotak
Tidak ada seorang pun yang ia kenal di Bangladesh dan orang tuanya mungkin tidak tahu bahwa dia masih hidup. Nabi tidak tersenyum dan jarang melakukan kontak mata. Nabi yang tumbuh di wilayah pegunungan Myanmar, merupakan anak kesembilan dari seorang petani daun sirih. Dia mengaku selama ini tidak pernah pergi ke sekolah.
Keluarga Nabi telah melarikan diri menuju pantai, dengan melewati mayat-mayat yang bergelimpangan. Akan tetapi saat mereka tiba di pantai yang penuh dengan pengungsi Rohingya lainnya, mereka mengaku tidak punya uang untuk menaiki kapal.
Setelah empat hari, Nabi mengatakan kepada orang tuanya dia ingin berenang untuk mencapai Shah Porir Dwip, daratan yang bisa ia lihat dari kejauhan. Namun orang tuanya tidak ingin dia pergi.
Salah satu saudara laki-lakinya telah berangkat ke Bangladesh dua bulan yang lalu dan mereka tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Mereka tahu arus kuat bisa membawa Nabi ke laut lepas.
Pada akhirnya, keluarga Nabi setuju dengan syarat dia tidak pergi sendiri. Maka pada sore hari, 3 November, Nabi bergabung dengan sekelompok 23 pemuda lainnya untuk menyeberang ke Bangladesh.
“Tolong simpan aku dalam doa-doamu,” katanya pada ibunya, sementara semua orang di sekitarnya menangis.
Nabi dan yang lainnya mengikatkan jeriken minyak ke dada mereka sebagai pelampung. Mereka melangkah ke air dan mulai mengikuti arus yang bergeser ke arah Bangladesh. Setiap tiga orang diikat pada satu jerigen. Nabi berada di tengah, karena ia masih muda dan tidak tahu cara berenang.
Nabi mengaku ia sempat menelan air laut, selain karena besarnya ombak, ia juga menelan air karena haus. Airnya asin dan kakinya terasa sakit, tapi dia tidak pernah menengok ke belakang. Tepat setelah matahari terbenam, kelompok tersebut sampai di Shah Porir Dwip, dengan kelelahan, lapar, dan dehidrasi.
Nabi sekarang hidup sendiri, dan menjadi satu dari sekitar 40 ribu anak Muslim Rohingya yang tinggal di Bangladesh tanpa didampingi orang tua. “Saya ingin orang tua dan kedamaian saya,” ungkapnya.
Meskipun Muslim Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa dekade, mayoritas Buddha di negara ini masih menganggap mereka sebagai imigran dari Bangladesh. Pemerintah Myanmar tidak memberikan hak-hak dasar mereka dan PBB telah menyebut mereka sebagai minoritas paling teraniaya di dunia.[]