Duhai Atikah sayang, aku tak bisa melupakanmu selama mentari masih bersinar
Dan selama merpati berkalung masih berkicau
Duhai Atikah sayang, pada setiap siang dan malam hatiku memendam rasa padamu
Aku tak pernah menyaksikan orang sepertiku menceraikan wanita seperti dirinya
Dan tak pernah ada wanita sepertinya yang diceraikan tanpa kesalahan
Dia wanita berakhlak mulia, cerdas, bernasab tinggi, berparas indah dalam malu dan jujur
Puisi cinta. Kalimat pujangga dimabuk asmara. Dan ini bukan sastra kosong tanpa pemeran. Ini ungkapan keresahan jiwa yang ditinggal wanita yang sangat dicintainya.
BACA JUGA: Mengenal Abdullah lbn Umar
Terik padang pasir berpindah ke dalam relung jiwanya. Meradang karena rindu. Sangat terpaksa ia harus berpisah. Perpisahan yang tak pernah dibayangkannya apalagi diinginkannya.
Bagaimana tidak seperti itu keadaannya. Kalau wanita pujaannya itu sangat cantik, kalau tak mau dikatakan tercantik di sukunya. Agung akhlaknya. Fasih dan indah tutur bahasanya. Dari keluarga terhormat.
Sempurna…!
Kalau kesempurnaan itu telah pergi, maka yang tertinggal hanya ketimpangan rasa, cacat jiwa dan kekurangan hidup.
Tahukah Anda, siapa pemilik kalimat penyimpan dahaga rindu di atas?
Bukan sembarang pujangga. Apalagi penyair musiman. Bahkan bukan orang biasa.
Orang mulia, yang mungkin tak pernah kita duga.
Abdullah, putra Abu Bakar Ash Shiddiq. Radhiallahu anhuma. Sahabat mulia putra sahabat paling mulia.
Abdullah meradang dalam kerinduan dan penyesalan yang membuat matanya tak mampu terpejam. Atikah, istri sempurna itu pergi. Karena Abdullah sendiri yang menceraikannya.
Aneh…apa pasalnya?
Mengapa menceraikannya kalau ia sangat mencintainya?
Ya, setelah Abdullah menikahi Atikah selama setahun, Abdullah banyak berubah. Hari-harinya hanya mengagumi istrinya. Hingga beberapa kewajiban ibadahnya tertunda dan tidak terlaksanakan dengan baik.
Abu Bakar tentu tak tinggal diam. Abu Bakar meminta Abdullah untuk menceraikan istrinya. Abdullah sebagai anak yang sangat taat kepada orangtuanya terpaksa menceraikannya.
Tetapi ternyata Abdullah hanya bisa memisahkan Atikah dari fisiknya. Hatinya telah dibawa terbang oleh Atikah.
Dan puisi itulah meluncur jujur dari hatinya.
Abu Bakar mendengarnya. Hati sang ayah iba. Dan Abu Bakar memerintahkan Abdullah untuk kembali rujuk dengan Atikah.
(Lihat kisah Abdullah dan Atikah ini dalam Usdul Ghobah karya Ibnul Atsir, Al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr, Al Ishobah karya Ibnu Hajar dan lainnya)
Begitulah cinta di rumah sahabat Nabi. Cinta tetap cinta. Sangat bergelora. Sangat bertenaga. Sangat berkuasa.
Abu Bakar Ash Shiddiq meminta anaknya bercerai dari istrinya, karena cintanya telah mengganggu ibadahnya kepada Allah.
Tetapi akhirnya Abu Bakar Ash Shiddiq mengizinkan anaknya untuk kembali kepada belahan jiwanya itu, karena perpisahan itu tak sanggup ditanggungnya. Tentu dengan syarat, tak boleh lagi mengganggu ibadah.
Ini seperti peringatan Allah,
Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah Memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (Qs. At Taubah: 24)
BACA JUGA: Gembala Cilik dan Abdullah bin Umar
Cintamu pada orang yang kau cintai tak boleh mengikis cintamu pada Allah, Rasul dan jihad. Karena cinta yang satu ini harus ada di tempat paling atas, di atas semua cinta.
Tapi ketika cinta pada Allah, Rasul dan jihad tidak terganggu. Maka cintai Allah, Rasul dan jihad sepenuh hati. Dan cintai cintamu dengan sepenuh hatimu.
Seperti Abu Bakar yang mengizinkan Abdullah untuk kembali dalam sepenuh cintanya pada Atikah. Asal tak membentur cinta-Nya. []
Disarikan dari “Hanya Saat Cintamu Membentur Cinta-Nya” oleh Ustaz Budi Ashari / 2013