BENCANA longsor yang pernah terjadi di Purworejo, Jawa Tengah pada 2016 silam menjadi duka bagi negeri dan duka tersendiri bagi keluarga korban. Bencana ini telah memakan korban sebanyak 47 tewas dan 15 di nyatakan hilang.
Banyak kisah pilu dan haru saat bencana terjadi. Salah satu kisah yang diceritakan Ali Firdaus, tiga tahun silam ini mungkin akan membuat kita tersadar betapa berartinya kehadiran seorang anak.
Tiga hari lalu saya bertemu dengan konsumen toko yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Salah satu cerita yang membuat saya termangu adalah tentang perjuangan seorang ibu.
Ibu tersebut ditemukan tim penyelamat dalam keadaan hidup. Ia selamat setelah 12 jam tertimbun tanah! Qadarullah, penyebab ibu itu selamat adalah wajahnya ketika tertimbun tertutupi oleh sesosok tubuh. Ya, tubuh manusia yang lain. Maka jasad yang sudah jadi mayat itulah yang menutupi wajah ibu tersebut, membuat dirinya masih bisa bernapas belasan jam.
BACA JUGA:Â Catatan Seorang Ibu; untuk Anak-anak Kami
Sekilas kita akan mudah bersyukur mendengarnya. Membayangkan selamat dari bencana yang nyaris meregangkan nyawa, seketika memanjatkan syukur bahagia. Allahu Akbar!
Tapi tidak demikian dengan ibu tersebut! Apa pasal? Adakah yang salah?
Setelah dievakuasi, cerita konsumen saya, sang ibu itu terus terdiam. Ya, terdiam dengan pandangan kosong. Sebuah kesedihan yang amat mendalam. Belakangan diketahui bahwa sosok mayat yang ‘menolongnya’ di dalam reruntuhan tanah tidak lain jasad anaknya yang masih berusia 14 bulan! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un….
Pembaca, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan sang ibu saat itu. Ia harus berada di dalam tanah sambil merasakan dinginnya jasad sang bayi tercinta. Merasakan langsung perpisahan dengan jalan yang Allah tentukan di bulan suci Ramadhan: di depan wajahnya selama 12 jam! Laa hawla wala quwwata illa billah…
“Ya Allah, kuatkan kesabaran mereka yang tertimpa musibah. Berilah ganti yang lebih baik dari musibah dan ujian yang Engkau berikan kepada mereka. Jauhi kami dari musibah yang tak sanggup kami memikulnya.”
BACA JUGA:Â Anak Muda dan Jalanan yang Macet
Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita semua menoleh sesosok tercinta di tepi ranjang. Tengok ia yang tengah tertidur pulas di malam hari. Kepada kita yang memiliki anak seusia anak (atau lebih) dari ibu tersebut di atas, mari renungi dalam-dalam. Bersyukurlah dengan ‘kenakalannya’ bila dibandingkan harus merasakan ‘diam’-nya jasad sang anak karena tak lagi bernyawa. []