IMAM Malik, atau Malik bin Anas rahimahullah, salah seorang empat imam madzhab yang tentu tidak asing lagi. Banyak kisah tentang keteladanan beliau. Kisah menawan sebagai panutan untuk kaum muslimin.
Sebagai imam di masanya, beliau benar-benar menjadi suri tauladan dalam berbagai aspek kehidupan. Memang, semenjak kecil beliau terdidik di bawah naungan ilmu syar’i, dalam nuansa islami yang sangat kental. Anas rahimahullah, ayah beliau, adalah seorang ulama besar di kalangan tabi’in.
Oleh karenanya beliau tumbuh dan berkembang dalam pengawasan yang cukup ketat dari sang ayah. Di samping itu beliau juga dianugerahi kecerdasan dan hafalan yang sangat kuat. Maka menginjak usia dua puluh satu tahun, beliau telah diberi izin untuk berfatwa.
Beliau terkenal sebagai Imam Darul Hijrah. Karena beliau senantiasa menetap di kota Madinah, baik ketika menuntut ilmu maupun berdakwah.
BACA JUGA: Imam Hanafi atau Imam Maliki, Siapa yang Lebih Berilmu? Ini Jawaban Imam Syafi’i
Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadits ternama di kota Madinah. Oleh karenanya, sejak kecil tiada keinginan sama sekali pada diri Imam Malik untuk meninggalkan Madinah, meskipun dalam rangka mencari ilmu. Dengan keberadaan para ulama besar di Madinah, beliau yakin kota tersebut adalah pusat ilmu yang berlimpah.
Sejak kecil Imam Malik telah mengenal ilmu hadits dari sang ayah. Juga dari sebagian saudaranya yang pernah berguru pada para ulama terkenal di masanya, seperti Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu Zinad, dan yang lainnya. Beliau sendiri juga berguru kepada ulama ahli hadits di antaranya Nafi’, Sa’id Al Maqburi, Ibnu Al Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan sederet ulama-ulama besar lainnya.
Bukti tingginya kedudukan beliau adalah banyaknya ulama besar yang berguru kepada beliau. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ayyub bin Abu Tamimah As Sakhtiyani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, dan tentu saja Al Imam Asy Syafi’i.
Kecintaan Imam Malik terhadap ilmu syar’i menjadikan beliau mengabdikan hampir seluruh hidupnya dalam dunia dakwah. Beliau sangat bersemangat dalam mengajarkan ilmu agama kepada kaum muslimin. Bahkan, Khalifah Al Manshur, Al Mahdi, Harun Ar Rasyid, dan Al Makmun pernah berguru kepada beliau. Sungguh fantastis, para penguasa pun tunduk dan bersimpuh menimba ilmu di hadapan Imam Malik. Demikianlah Allah mengangkat derajat hamba-hamba-Nya dengan ilmu syar’i.
يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [Q.S. Al-Mujadilah:11].
Imam Malik adalah salah satu bukti nyata ayat ini. Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang beriman di atas hamba-hamba-Nya yang lain. Beliau sebagai imam di kota Madinah. Begitu banyak orang mencari beliau dari berbagai penjuru negeri.
Mulai dari rakyat jelata yang datang untuk sekedar meminta fatwa, atau bertanya tentang masalah agama, hingga para penguasa bahkan para ulama untuk meriwayatkan hadits dari beliau. Kekuasaan atau kekayaan duniawi bukanlah simbol kemuliaan sebagaimana penilaian kebanyakan orang. Kalaulah kemuliaan hidup ini dipandang dari kenikmatan duniawi, maka tentunya banyak orang-orang kafir yang lebih mulia daripada orang-orang yang beriman.
BACA JUGA: Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid Bertemu Imam Malik
Hal ini mengingatkan kita tentang sebuah kisah yang diriwayatkan dari Abu Thufail, bahwa Nafi’ bin Abdil Harits datang dari Makkah untuk menjemput Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab di ‘Usfan. Nafi’ bin Abdil Harits adalah gubernur yang diangkat oleh Umar sebagai pemimpin penduduk Makkah.
Umar pun bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk sebagai wakilmu di Makkah?” Ia pun menjawab, “Ibnu Abza.” Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?” “Dia adalah seorang bekas budak,” Jawabnya. Umar berkata, “Engkau mengangkat pemimpin dari mantan budak?! Maka Ia pun mengatakan, “Karena dia adalah seorang yang ahli membaca Al-Qur’an dan pakar dalam ilmu waris.” []
BERSAMBUNG | Sumber: Majalah Qudwah Edisi 5 vol.01 1434H/2013M, Rubrik Ulama’. Pemateri: Ustadz Abu Hafiy Abdullah. | Ismail Ibnu Isa