KISAH penuh inspirasi datang dari lulusan Fisipol UGM bernama Dipa. Melalui akun Twitter @tanikelana, Dipa bercerita soal kisahnya yang terjun ke dunia petani. Petani memang bukan profesi yang diminati kebanyakan anak millennial seusianya, namun Dipa optimis petani merupakan profesi impiannya.
Cerita Dipa jadi petani ia tuangkan di utas (thread) Twitter @tanikelana yang saat ini sudah mendapat lebih dari 45 ribu likes. Dipa mengatakan perjalanannya menjadi petani baru dimulai Januari 2020 saat ia pilih pulang kampung.
Tak butuh waktu lama, tepatnya Maret 2020 ia bulatkan tekad untuk terjun langsung ke kebun dan ladang. Dipa membawa cangkul untuk menggarap lahannya.
Berikut cerita lengkap pengalaman Dipa, anak muda lulusan UGM yang pilih profesi sebagai petani:
BACA JUGA: Tolak Bantuan Sembako, Petani di Gowa: Saya Miskin, Tapi yang Lebih Butuh Banyak
1 Minat jadi petani muncul saat dirinya masih kuliah
Pria 22 tahun ini sudah memiliki minat jadi petani sejak kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia bergabung dengan komunitas @sektimuda yang merupakan wadah belajar bersama tentang pertanian alami. Dipa mempelajari banyak hal seperti cara buat pupuk hingga pestisida nabati langsung pada petani.
“Aku belajar dengan Pak Udik, salah satu guru yg sering mengajarkan tentang nutrisi dan cara buat pupuk organik cair untuk tanaman,” tulisnya di Twitter. Dipa bersama teman-teman komunitasnya bahkan melakukan kunjungan langsung ke petani.
Salah satunya ke Bantul untuk bertemu praktisi pertanian bernama Pak Daliman. “Setelah banyak ketemu petani, belajar nanam di kos, jiwa bertaniku yang dipupuk sejak kecil karena main harvestmoon makin menjadi. Di situ aku makin yakin, cita-citaku adalah jadi seorang petani,” tulisnya pada utas 12 Juni 2020.
2 Pinjam uang untuk modal menggarap lahan
Untuk mewujudkan cita-citanya, Dipa menunggu lulus kuliah dari Fisipol UGM. Setelah itu ia memberi tahu keluarganya dan merasa sangat beruntung karena mendapat dukungan. “Di sana aku minjem sedikit uang ke keluargaku buat modal, sisanya aku jual buku-buku yg dikumpulin selama kuliah,” ujarnya.
Lalu pada Maret 2020, Dipa benar-benar mulai bertani. Namun proses mendapatkan lahan tidak semudah yang dibayangkan. Ia sempat mencari tahu sana-sini hingga akhirnya dipertemukan seorang rekan yang memiliki minat sama dan sedang menggarap lahan. Dipa mengatakan, “Akhirnya setelah obrolan singkat di waktu senja, aku langsung diajak buat garap lahan kosong seluas 450-an meter.
Pertama, ia menanam kangkung dan bayam. Setelah itu Dipa belajar bahwa ada banyak faktor yang sulit diperhitungkan dalam dunia pertanian. “Fluktuasi harga, iklim, hama, dan penyakit. Di situ kamu bakal bener-bener belajar pentingnya sabar dan tekun,” ujarnya.
3 Makin cinta alam sejak jadi petani
Setelah menanam kangkung, Dipa berhasil memanen hasilnya 3-4 minggu kemudian. “Di situ aku jualin sebagian ke tukang sayur, tiap hari berangkat jam 6, panen kangkung terus keliling ke beberapa tukang sayur. Hasilnya cukup lumayan buat sehari-hari,” tulisnya.
Total baru sekitar 5 bulan ia jadi petani, namun ia sudah merasakan banyak hal positif dari profesi ini. “Rasanya kaya bener-bener merdeka, hidup ga cuma buat ngumpulin uang, bisa terus saling berbagi lewat hasil tani, dan semakin sadar bahwa sepenuhnya kita bergantung pada alam yg sayangnya terus kita rusak,” tulisnya.
Pria asal Sukabumi ini juga menulis dua alasan utama jadi petani. Pertama ingin mencari penghasilan yang halal dan berkah. Kedua tidak mau semakin merusak alam. “Aku merasa hidup singkat, dan amat sayang hanya lahir untuk turut merusak bumi dan seisinya. Di situ aku merasa lewat bertani, apalagi dengan prinsip “Agroekologi”, mungkin aku bisa hidup tanpa menimbulkan banyak mudharat,” ungkap Dipa.
4 Mengalami banyak kegagalan
Belajar jadi petani, tentu saja Dipa pernah alami kegagalan. Ia mengatakan bahkan sering gagal. “Misal aku nanam cabe, padahal tanahnya asam dan kritis unsur hara. Akhirnya sampai sekarang cabenya ternyata buntet. Di situ belajar kalau tanah yang sehat adalah faktor paling penting dalam budidaya pertanian,” katanya memberi contoh.
Dipa juga menyemangati anak-anak muda lain yang ingin jadi petani. Menurutnya sumber daya material seperti lahan, modal awal, dan skala usaha memang penting, namun ada dua aspek lain yang juga amat penting. Keduanya adalah sumber daya pengetahuan dan jaringan atau “network”.
BACA JUGA: Akibat Pencemaran Laut, Perusahaan Australia Digugat Rp 2 Triliun oleh Petani NTT
Ia menilai meski mulai dari kecil, semuanya akan lebih mudah jika dilakukan gotong-royong atau bersama-sama. “Belajar bareng2, sewa lahan bareng temen, bagi tugas dari budidaya sampai ke distribusi hasilnya, dan minimal ada temen cerita ketika lelah dan susah,” pungkasnya.
5 Tidak perhitungan menjual hasil tani
Menariknya, pria yang mengenyam pendidikan Hubungan Internasional (HI) ini tidak mau perhitungan menjual hasil taninya. Misalnya ketika menjual bayam, ia mematok harga Rp 1.500-2.500 saja per ikat.
“Kadang di desa itu penentuan harga didasarkan atas hubungan kerabat dan rasa ga enak, jadinya ya jangan terlalu “perhitungan”,” tulisnya. Lalu untuk caisim, Dipa menjual Rp 2.500-3.000 per kg. Ia menjual langsung ke konsumen di kampung sekitar.
Dari berbagai unggahan Dipa di Twitter, terlihat kalau ia tak pelit ilmu. Sering kali ia membagikan tips dan trik dalam bercocok tanam. Dipa bahkan rutin mengunggah foto atau video yang menunjukkan kondisi lahan serta tanamannya. []
SUMBER: DETIK