SULTAN Abdul Hamid II, pemimpin kesultanan Ottoman (Utsmaniyah) pada sekitar abad ke-18, pernah mengirimkan delegasi ke Jepang. Hubungan persahabatan Turki-Jepang telah dibangun pada masa itu.
Meski sudah berinteraksi sejak abad ke-15, hubungan diplomatik resmi antara dunia Islam dengan Kekaisaran Jepang baru dimulai pada akhir abad ke-19. Dua tren paralel tiba-tiba menggelitik minat orang-orang Muslim dan Jepang antara satu sama lain. Tren yang pertama terkait dengan imperialisme Eropa di dunia Islam. Sementara, tren yang kedua adalah kemunculan Jepang sebagai kekuatan politik di Asia dan kemampuannya bertahan melawan kekuatan Eropa yang predator.
BACA JUGA: Praktik Baik Warisan Tradisi Ottoman, Ini 6 Cara Hidup Sehat ala Masyarakat Turki
Kapal perang bernama Ertugrul pun dikirim Sultan Abdul Hamid II ke Jepang pada 1889. Itu membuka pintu yang lebar terkait hubungan diplomatik kedua pemerintahan.
Kapal perang yang mengangkut 609 pe laut Utsmaniyah itu ditugaskan membawa hadiah untuk Kaisar Meiji (yang memerintah Jepang antara 1867-1912). Sebelum Sultan Abdul hamid II mengirimkan Ertugrul ke Jepang, salah seorang saudara laki-laki dari Kaisar Meiji sudah lebih dulu mengunjungi Istanbul (ibu kota negara Utsmaniyah), dua tahun sebelumnya.
Ertugrul berhasil tiba di Jepang dengan selamat. Sesampainya di sana, penumpang kapal itu disambut dengan keramahan yang luar biasa oleh para pimpinan dan rakyat Negeri Matahari Terbit. Namun, nahas, da lam perjalanannya kembali ke Istanbul pa da 1890, topan besar menghantam Ertugrul saat kapal itu sedang berada di perairan se latan Jepang. Bencana tersebut menyebab kan tewasnya 550 penumpang kapal itu dan hanya menyisakan 69 orang yang selamat.
Nasib Ertugrul memang berujung tragis. Namun, misi pelayaran terakhirnya berhasil membentuk hubungan positif antara Kesultanan Turki Utsmaniyah dan Kekaisaran Jepang.
“Sampai sekarang, orang-orang Je pang dan Turki selalu rutin memperingati in si den Kapal Ertugrul setiap lima tahun sekali, meskipun rezim yang memerintah di kedua negara telah berulang kali mengalami pergantian,” ungkap Ketua Pusat Studi Islam Je pang, Prof Salih Mahdi al-Samarrai, dalam artikelnya berjudul “Islam in Japan Before 1900”, sebagaimana dikutip dari Republika.
Pada 1892, atau tepatnya dua tahun pascainsiden Kapal Ertugrul, seorang cendekiawan Jepang bernama Torajiro Yamada tiba di Istanbul. Tujuannya berkunjung ke ibu kota Kesultanan Turki Utsmaniyah ketika itu adalah untuk menjalankan misi sosial dan politik yang ia terima dari negaranya.
Di negerinya, Torajiro dikenal sebagai pemuda yang terpelajar. Dia memainkan peranan penting dalam kampanye penggalangan da na di kota-kota besar Jepang, untuk menyan tuni keluarga para pelaut Utsmaniyah yang tewas dalam Insiden Kapal Ertugrul.
BACA JUGA: Melalui Kesultanan Ottoman, Islam Masuk ke Jepang Sebelum Tahun 1900
Pada saat melakukan penggalangan dana tersebut, Torajiro mendapati bahwa simpati yang ditunjukkan masyarakat Jepang terhadap saudara-saudara Turki mereka sangatlah luar biasa. Dalam waktu relatif singkat, jumlah uang yang terkumpul mencapai 5.000 yen—atau setara 100 juta yen (hampir Rp 12 miliar) dengan nilai mata uang saat ini.
Kekaisaran Jepang pun lantas meminta Torajiro untuk mengantarkan langsung uang itu ke Istanbul. Setelah misinya di Istanbul selesai, lelaki itu lalu mengunjungi Mesir. Dia memutuskan untuk menetap di sana selama 20 tahun berikutnya.
Selama berada di Mesir, Torajiro berusaha melakukan semua yang dia bisa untuk mempererat hubungan politik dan budaya antara Kekaisaran Jepang– Kesultanan Turki Utsmaniyah.
Pada kemudian hari, Torajiro Yamada memutuskan untuk memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Khalil Yamada. Dia pun tercatat sebagai orang asli Jepang kedua yang memeluk Islam setelah Seitaro Noda—yang mengganti namanya menjadi Abdul Haleem Noda. []